Kilatan petir berulang kali membelah langit, memantulkan cahaya putih pucat di antara bangunan kampus yang tenggelam dalam gelap akibat padam listrik. Malam itu hujan turun deras, disertai angin kencang yang membuat ilalang di bukit bergetar seolah sedang berbisik.
Seekor kucing berlari menuruni bukit, membelah semak basah tanpa memedulikan goresan luka yang semakin banyak di tubuhnya. Ia berlari karena hatinya mengatakan ada sesuatu yang penting di depan sana—sesuatu yang tak boleh ia lewatkan.
Dari kejauhan, cahaya lampu kendaraan mendekat, menembus derasnya hujan. Kucing itu menoleh sekilas, lalu mempercepat langkahnya, seakan takut cahaya itu lebih dulu sampai ke tujuan. Dengan sisa tenaga, ia melompat ke tengah jalan, menghadang mobil yang melaju kencang.
Suara rem berdecit, ban tergelincir di aspal basah. Namun semua terlambat. Tubuh kecil itu terpental, jatuh tak berdaya di genangan air, darahnya larut bersama hujan.
Pengendara keluar, menatap sekilas ke arah jalan. Sorot matanya tidak menunjukkan iba—hanya gugup, lalu dingin. Ia segera kembali ke dalam mobil, menginjak gas, dan menghilang ditelan malam.
Di balik semak-semak, sepasang mata lain memantau dengan cermat. Seekor kucing lain, basah kuyup oleh hujan, mendekat perlahan setelah mobil itu pergi. Ia menatap tubuh kawannya yang tergeletak, seolah tahu bahwa malam ini bukan sekadar kecelakaan biasa. Ada sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, yang baru saja dimulai.