Suara rintik hujan masih terdengar samar di luar gudang tua itu. Bau lembap bercampur debu memenuhi udara, bercampur dengan aroma kayu lapuk dari kursi-kursi usang yang ditumpuk tak beraturan. Di sudut ruangan, seekor kucing kecil menggeliat pelan, matanya berusaha membuka di tengah pusing yang mendera.
“Dia membuka matanya!” teriak seekor kucing muda bercorak putih dengan bintik hitam dan coklat muda. Suaranya nyaring, penuh kegembiraan sekaligus keheranan.
Seekor kucing betina berlari mendekat. Tubuhnya ramping dengan corak bulu coklat keemasan yang mulai kusam karena sering kehujanan. Dari perutnya yang masih bengkak, terlihat jelas ia baru saja melahirkan. Dua ekor anak kucing kecil berusaha menyusu, tapi segera tersingkir ketika induknya bergegas ke arah sosok asing yang baru sadar.
“Cepat panggil Ma,” katanya singkat pada anak lelakinya yang sudah agak besar, bernama Abu. Suaranya tegas, tapi matanya lembut, penuh rasa cemas.
Dengan susah payah, kucing kecil itu—Nana—berusaha bangkit. Pandangannya buram, bayangan di sekeliling berputar, hingga perlahan menyatu menjadi bentuk-bentuk jelas. Gudang itu sempit, gelap, dan dingin. Air merembes dari atap yang bocor, menetes ke lantai semen.
“Apa yang… terjadi?” gumam Nana dengan suara parau. Ia memandang kucing betina di hadapannya, lalu menoleh ke sekeliling. Semua asing. Semua terasa salah.
“Kau pasti haus. Minumlah dulu,” ucap sang kucing betina lembut. Dengan tatapan matanya, ia menunjuk ke arah sebuah cup plastik bekas minuman mahasiswa yang masih menyisakan air hujan di dalamnya.
Nana menatap cairan itu lama. Entah kenapa tenggorokannya terasa kering, tapi tubuhnya gemetar hebat. Ia mencoba mengangkat kaki mungilnya, namun saat melihat bulu tipis berwarna putih di kakinya sendiri, tubuhnya membeku. Apa ini…? Kaki kucing?
Anak-anak kucing kecil mendekat, berlarian mengelilinginya dengan riang. Mereka berteriak kecil, mencoba mengajak bermain. Nana ingin mengulurkan tangan, memberikan sentuhan lembut, tapi tangannya terhenti di udara. Pandangannya kosong, tak percaya. Ia bahkan tidak mengenali tubuhnya sendiri.
“Ayo, anak-anak. Biarkan dia tenang dulu,” ujar kucing betina itu. Anak-anak kucing itu langsung menurut, seolah suara ibunya adalah mantra. Mereka lalu keluar ke rerumputan basah di luar gudang.
Suasana kembali hening. Hanya ada suara hujan yang menetes dari atap dan degup jantung Nana yang masih berantakan.
“Nana,” ucap kucing betina itu pelan.
Nana tersentak. “Nana? Siapa itu?” tanyanya cepat.
“Itu namamu, sayang. Tertera di kalungmu,” jawab sang kucing betina sambil menunjuk dengan dagunya ke leher Nana. Kalung kecil berwarna perak tergantung lemah di sana, bertuliskan satu kata sederhana: Nana.
Nana menunduk menatap kalung itu lama. Kata itu terasa asing, tetapi juga… entah kenapa, sedikit akrab. “Aku… aku tidak ingat. Bahkan namaku sekalipun. Aku tidak tahu siapa aku… atau apa yang terjadi padaku.” Suaranya bergetar, matanya berair.
Sang kucing betina mendekat, menyentuh bahu Nana dengan lembut. “Tenanglah, nak. Kau tidak sendirian. Aku Suri. Kau bisa tinggal di sini bersamaku dan anak-anakku.”
“Kenapa… kau menolongku?” tanya Nana ragu.
Suri menatapnya dalam. Ada sebersit luka lama di matanya, tapi juga kelembutan seorang ibu. “Karena aku tahu bagaimana rasanya kehilangan,” jawabnya lirih.
Sebelum Nana sempat bertanya lebih jauh, Abu kembali masuk dengan langkah tergesa. “Ma belum datang. Mungkin dia masih di luar, hujan-hujanan.”
“Ma?” Nana mengulang kata itu bingung. “Siapa Ma?”
Suri dan Abu saling pandang sebentar. Suri menarik napas panjang. “Ma… adalah kucing betina yang membawa tubuhmu ke sini. Saat kami menemukamu, kau sudah tergeletak di tengah jalan, basah kuyup dan berdarah. Semua kucing lain tak berani mendekat, tapi Ma… dia yang menggigit tengkukmu, menyeretmu dengan susah payah melewati hujan deras, lalu meninggalkanmu di sini padaku. Setelah itu dia pergi tanpa berkata apa-apa.”