Melati menatap tetesan darah yang keluar dari sela jarinya. Bau amis bercampur panasnya siang membuat gadis delapan tahun itu mengernyit. Bukan mual, tapi heran kenapa baunya lebih enak dari wangi buah cempedak belakang rumah. Di dekat kaki kecilnya, tergeletak seekor kelinci putih dengan kepala terputus.
Kebun di tengah hari sangat sepi. Rerantingan bambu juga ilalang tinggi adalah tempat favorit melati untuk menjelajahi isi perut binatang-binatang malang. Membawa pisau dapur lalu kaca pembesar untuk melihat paru, jantung hingga usus. Kadang gadis kecil itu akan membelahnya menjadi beberapa bagian sebelum dikubur.
Melati tidak pernah meninggalkan rasa iba pada makhluk hidup. Ia menganggapnya sebagai objek atas rasa penasarannya.
Ibunya, Seroja adalah wanita muda yang tertutup. Status jandanya sudah hampir lima tahun, tapi tetap bertahan meski banyak pria datang. Dedikasinya kepada Melati adalah alasan sendiri selama ini.
---
“Melati, ayo makan siang! Kamu di mana?” teriak Seroja menyingsingkan lengan sembari menyusuri semak belukar di samping rumah. Sudah sepuluh menit sejak ia keluar, tapi sosok Melati belum juga kelihatan.
Semenjak memutuskan pindah ke desa, area bermain jadi semakin luas. Selepas sekolah, anak perempuannya itu akan bergaul dengan alam hingga melupakan makan. Jadi terlepas dari susahnya bersosialisasi, Melati cukup bisa beradaptasi sendiri.
Melati yang baru saja mengumpulkan tanah untuk menutupi kelinci, buru-buru keluar. Ia membersihkan sisa darah dengan debu. Ibunya tidak akan curiga kalau hanya kotor saja. Sudah berulang kali begitu dan tidak pernah ketahuan.
Meski Seroja sadar kalau anaknya berbeda, tapi ia tidak berusaha menyembuhkan, hanya menutupi rasa gelisahnya dengan senyuman hambar.
“Bersihkan tubuhmu dengan sabun. Ibu tidak akan memberimu makan kalau masih bau.” Wanita itu menyibak ujung ranting untuk menarik anaknya keluar dari situ. Lantas ia menunjuk kamar mandi yang letaknya memisah dari rumah utama. Matanya memicing, menatapi sedikit lecet di ujung kaki Melati. Tapi ia tidak bertanya lebih jauh karena sebentar lagi jam kerjanya di mulai.
Seroja adalah guru sekolah menengah pertama di desa. Setelah berpisah dengan suaminya, ia lebih memilih untuk mengajar pendidikan di pelosok. Dengan harapan lingkungan baru akan membawa nilai positif pada Melati. Tapi nyaris setengah tahun di sana, sang anak masih sama. Pendiam dan tidak suka bergaul dengan siapa saja. Kesehariannya hanya pulang lalu menyayati binatang-binatang liar.
“Makan tomatnya juga, baik untuk mata.” Seroja mengambil potongan besar tomat ke piring anaknya. Mereka sudah duduk di meja makan lima menit lalu, tapi Melati hanya diam. Gadis berambut ikal itu hanya memainkan sendoknya ke kanan dan ke kiri, terlihat bosan.