Pewaris kematian (pembunuhan berurutan)

yulisaputra
Chapter #2

Pembunuhan pertama


Tidak banyak yang dipersiapkan Melati untuk mencelakai kakek Linggo. Ia masih terlalu kecil untuk sebuah pembunuhan rumit. Jadi saat lelaki tua itu mendekat dan menawarinya permen, ia hanya perlu bergumam kalau ingin memancing malam-malam di sungai besar.

“Kek, ayo menangkap ikan. Bawa aku ke tempat sepi saat malam lalu kita memancing dengan jaring milik paman Aris,” ucap Melati mengambil bungkusan permen dari tangan keriput kakek Linggo. Ia mendongak, mengamati wajah menjijikkan di depan mata kecilnya itu.

Kelopak tua kakek Linggo langsung melebar, tidak percaya dengan pendengarannya sendiri. Setelah selama ini rayuannya selalu ditolak, kini tidak mungkin kesempatan langka itu dibiarkan pergi.

“Tentu saja. Bagaimana kalau malam ini?” Ia membungkuk lalu menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia harus memastikan tidak ada yang mendengar percakapan mereka. Kebetulan saat itu jalan tengah sepi. Melati baru saja pulang sekolah sendiri.

“Bawa obat ikan, biar dapat banyak,” pinta Melati pelan.

Ya, itulah yang terpenting. Potas atau Potasium Sianida sangat umum digunakan untuk memancing. Tanpa perlu membeli atau mengambil, semua sudah dibawakan oleh korban sendiri.

“Baiklah, kita sepakat. Tapi kamu jangan beritahu hal ini pada ibumu. Ini rahasia kita.” Kakek Linggo mengelus jenggot panjangnya sembari terkekeh kencang.

Dari jarak semeter saja, bau mulutnya sangat busuk. Tidak terbayang harus bicara lama sebelum dibunuh. Melati yakin nyawa seorang pedhofil tidak lebih berharga dari seekor kucing. Istri dan anak-anaknya akan pura-pura sedih untuk uang layatan lalu di hari berikutnya kembali hidup normal.

-----

Malam itu mendung. Suara jangkrik, kodok juga binatang lain bersatu dengan bunyi aliran air sungai. Melati duduk di atas bebatuan besar ketika kakek Linggo tengah merenggang nyawa di pinggiran pematang. Lima belas menit lalu ia berhasil mencampurkan butiran kecil sianida ke dalam teh hangat yang akan mereka minum. Sayang, belum habis separuh, kakek Linggo sudah limbung.

“Hewan dan manusia tidak sama,” gumam Melati mengambil senter untuk menerangi momen sekarat itu.

Kucing atau anjing hanya akan mengeluarkan bunyi seperti napas tersengal dari tenggorokan. Sedang manusia menggetarkan seluruh tubuhnya sambil meminta agar diselamatkan. Kakek Linggo pun sama. Hanya saja karena sudah renta, ia tidak bertahan terlalu lama.

Hanya berselang beberapa detik setelah menyebut nama Melati, nyawanya sudah benar-benar pergi. Mulutnya mengeluarkan busa dengan bibir pucat kebiruan. Gigi kotor, siku luka karena diabetes membuat kematian kakek Linggo lebih dramatis.

Lihat selengkapnya