Pewaris kematian (pembunuhan berurutan)

yulisaputra
Chapter #3

Ambang batas


Sesampainya di rumah, Seroja tidak menemukan Melati. Rumah kecilnya lenggang dan sunyi. Suara angin yang menggerakkan kincir kertas di depan pintu seperti bunyi langkah kaki. Wanita dengan wajah gelisah itu langsung masuk, memanggil nama anaknya berulang kali.

Namun kamar Melati kosong juga berantakan. Selimut, bantal juga guling berserak di bawah kaki ranjang. Tadinya ia pikir ada yang datang dan berbuat buruk, tapi bau api dari samping rumah membuat firasat buruknya berubah menjadi kepanikan.

Benar saja, Saat Seroja berputar ke samping rumah, ia mendapati Melati tengah berdiri membelakangi sambil menatap api. Itu adalah tempat favorit di mana binatang-binatang liar kadang lewat.

“Melati! Apa itu? Apa yang kamu bakar, hah?”

Dengan nada tersengal kencang, Seroja menghampiri sosok anaknya yang tengah berdiri santai di depan kobaran. Terlihat sebuah bungkusan hitam gosong mirip bayi kucing berada di tengah ,sengaja dibakar dan ditumpuk bersama dengan rerantingan juga dedaunan kering.

Seroja langsung histeris. Ia cepat-cepat mengambil kayu besar untuk memukul-mukul tanah di sekitar tumpukan api. Bibir wanita itu gemetar hebat, antara takut tapi tidak punya pilihan lain.

Melati bergumam kesal, perutnya sedang lapar tapi acara makannya digagalkan begitu saja. Sudah lama sekali tidak ada daging di atas meja makan.

“Ketela?” Seroja menatap onggokan gosong itu tak percaya. Tapi meski dugaan liarnya salah, tidak ada kelegaan di hatinya.

“Memangnya apa? Ibu kira aku masak kucing? Atau anjing?” Melati memicing lalu menyepak sisa bara api di sekitar kakinya kesal.

Seroja terpaku lalu membuang ketela itu jauh-jauh. Intinya, ia tidak akan mundur meski tebakannya salah. Masih penuh emosi, dicengkramnya bahu Melati.

“Ibu tahu kamu mampu melakukan hal keji seperti ayahmu. Sekarang katakan tadi malam kamu ke mana?” Seroja menatap penuh ancaman ke dalam mata anaknya.

“Sebenarnya ibu mau bilang apa?” gumam Melati tanpa kegugupan. Emosi juga rasa takutnya tidak gampang muncul hanya karena gertakan.

“Jujurlah, apa tadi malam kamu bertemu kakek Linggo?” tanyanya tajam.

Lihat selengkapnya