Selepas kematian kakek Linggo, banyak desas desus menyeramkan di desa. Dari penampakan pocong di sekitaran tempat kejadian hingga obrolan ganjil tentang alasan bunuh diri yang tidak wajar. Warga meyakini kalau ada banyak hal yang ditutupi keluarga juga polisi. Akibat kejadian itu, desa tak lagi setenang dulu.
Awalnya Seroja tidak terganggu dengan banyaknya tudingan tidak masuk akal tentang hubungan gelapnya. Segelintir orang mengatainya simpanan, tapi tidak bisa membuktikan apa-apa. Meski begitu, gosip selalu berimbas pada profesinya sebagai guru. Suatu hari kepala sekolah bahkan memanggilnya untuk menanyai secara langsung tentang keterlibatan Seroja dengan semua itu. Walau tidak bersalah, tetap saja ia diminta libur sementara waktu. Katanya, wali murid resah dan memintanya mengambil tindakan disiplin.
Belum cukup dengan tekanan di sekolah, Seroja kembali dipermasalahkan di balai desa. Wanita umur dua puluh delapan itu dipanggil kepala desa untuk diinterogasi di depan warga. Istri dari almarhum kakek Linggo juga datang dan duduk di barisan paling depan.
“Saya bersumpah kalau apa yang warga tuduhkan pada saya tidak benar.” Seroja langsung meninggikan suaranya di hadapan semua orang. Ia janda, tidak punya suami yang bisa melindungi. Tidak masuk akal kalau orang yang bahkan tidak tahu apa-apa malah diberi sanksi sosial.
Warga seketika riuh, mengatai Seroja dengan kalimat-kalimat kasar. Jalang setan dan yang lebih kejam adalah pelacur. Tidak peduli apapun pembelaannya, mereka sudah sepakat untuk tidak percaya.
Air mata Seroja merebak. Tangisan yang sejak tadi ditahan akhirnya keluar, membasahi pipi kuning langsatnya. Tidak bisa dipungkiri, para wanita di desa sebenarnya sudah lama iri dengan kecantikan Seroja. Sejak datang, mereka resah karena wanita itu janda dan sering menarik perhatian para pria. Jadi begitu ada kesempatan, Seroja dibantai habis-habisan.
“Semua diam! Kita di sini bukan untuk menghukum, tapi menanyainya baik-baik.” Kepala desa berdiri lalu menggebrak meja. Ia merasa tidak dihargai karena warga terkesan ingin main hakim sendiri.
Seketika hening. Ibu-ibu yang awalnya anarkis langsung bungkam sambil berbisik-bisik. Beberapa menduga kalau kepala desa mereka mungkin juga menaruh hati pada Seroja. Tuduhan gila itu akan terus berlanjut sampai tuntutan pengusiran dikabulkan.
“Seroja, saya sebagai kepala desa tidak akan bertele-tele. Di sini kamu punya hak untuk membela diri, tapi apapun faktanya, mereka sepakat untuk tetap mengusir kamu dari desa ini. Jadi demi kebaikan bersama, pergilah dengan tenang.”
Sebuah kertas keterangan pindah diangsurkan pada Seroja. Wanita itu menghela napas panjang lalu mengambilnya dengan tangan gemetar.
Pantaskah menghukum orang tidak bersalah?