Berita pengusiran Seroja sudah mencapai ke telinga semua orang. Bahkan teman juga guru Melati tahu tentang hal memalukan itu. Tapi siapa peduli? Sejak sang ayah dipenjara, tidak ada satupun orang yang menghormati mereka.
Pada dasarnya setiap manusia adalah psikopat. Hanya saja ada yang namanya tingkatan untuk sebuah kejahatan. Berbeda dengan ayah Melati yang menyerang fisik, di masyarakat para penggunjing juga pembully memakai lidah mereka untuk membunuh mental dan psikis.
“Melati, ibumu menjemput. Hari ini kamu boleh pulang lebih dulu,” kata kepala sekolah masuk ke dalam kelas.
Tanpa banyak bertanya, Melati mengangguk. Ia memasukkan buku juga alat tulisnya sebelum kemudian keluar menemui Seroja. Dilihat dari situasinya, jelas obrolan tentang pengusiran itu benar.
Setelah Seroja berbasa-basi sebentar dengan kepala sekolah, mereka akhirnya berpamitan.
“Apa hari ini kita pindah?” tanya Melati menatap sang ibu yang terus membisu sepanjang jalan keluar. Tidak ada koper atau bawaan berat, jadi ia penasaran.
Seroja tidak langsung menyahut. Tak seperti biasa, mimik wajahnya terkesan tegang. Ia hanya menggenggam tangan Melati seerat mungkin, seolah ada yang sengaja disembunyikan dalam hati.
“Hari ini kita belanja. Kamu mau apa? Katakan saja,” gumamnya memaksakan sebuah senyuman lebar. Di mata Melati, lebih mirip seringai.
Melati terpaku bingung. Setelah sekian lama, kalimat penuh perhatian kembali terdengar dari mulut ibunya. Tapi hal itu justru mengundang curiga. Tidak mungkin ia diminta pulang hanya untuk jalan-jalan. Selama ini uang Seroja sangat pas-pasan. Jangankan membeli barang kesukaan, bisa memenuhi kebutuhan pokok saja sudah bagus. Bisa dibilang semenjak kasus kejahatan Pambudi ketahuan, status sosial mereka jatuh dari langit ketujuh.
”Bagaimana kalau kita pulang ke Jakarta?” celetuk Melati sengaja memancing
Anehnya Seroja langsung mengangguk. Padahal selama vonis hukuman mati untuk Pambudi belum dijatuhkan, keberadaan mereka hanya akan menjadi santapan media. Perlu waktu lama agar bisa bersembunyi seperti sekarang.
“Melati, kamu tahu kan bagaimana sayangnya ibu padamu? Ibu sudah pernah membawamu ke psikiater agar mentalmu bisa diperbaiki. Tapi sayangnya yang kamu alami adalah kecacatan. Tidak bisa diobati dengan cara apapun.”