Bai Longwei berlari menembus kegelapan hutan, jantungnya berdentum kencang seolah akan meledak. Hingga akhirnya, cahaya samar rumah kayu di tepi desa itu muncul di hadapannya. Rumahnya. Tempat yang selama ini menjadi satu-satunya perlindungan. Dengan sisa tenaga, ia mendorong pintu dan masuk ke dalam, menutupnya rapat-rapat.
Bai Longwei duduk di dekat tungku api yang mulai redup. Kayu di dalamnya berderak pelan, nyala kecilnya berjuang melawan dingin malam.
Ia menarik kain dan menutupkan ke bahunya, tubuhnya masih menggigil basah. Pandangannya tak lepas dari pintu yang tertutup rapat, seakan takut bayangan di luar sana bisa menerobos masuk kapan saja.
Sudah hampir satu jam ia menunggu.
Biasanya, ibunya tidak pernah membutuhkan waktu selama ini. Para pemburu dari masa lalunya akan tumbang sebelum bisa mengayunkan senjata kedua. Tapi kali ini⦠hujan masih turun deras, dan angin malam yang mengguncang rumah kecilnya membawa kegelisahan yang aneh di dada Bai Longwei.
Ia menggigit bibir, mencoba menepis pikiran buruk yang mulai merayap.
Ibu pasti pulang.
Sambil menunggu, ia mengambil sebilah pisau kecil dari kotak kecil. Tangannya luwes memainkan pisau itu, seperti yang ibunya ajarkan sejak kecil. "Memegang senjata itu harus lembut seperti menggenggam kelopak bunga, tapi tegas seperti mencengkeram akar," kata ibunya kala itu. Bai Longwei mempraktikkan kata-kata itu berkali-kali, tetapi malam ini, tangannya terasa lebih gemetar dari biasanya.
Hingga tiba-tiba pintu kayu itu diketuk.
Suara langkah kaki yang berat terdengar dari luar. Bai Longwei buru-buru berdiri, meletakkan pisaunya, lalu berlari ke arah pintu dan membukanya.
"Ibu?"
Lian Hua pulang dengan senyum yang sama, seakan tak terjadi apa-apa. Bai Longwei berlari menghampiri ibunya dengan wajah berseri.
"Ibu! Aku tahu ibu pasti pulang!" serunya girang.
Lian Hua mengusap kepala putrinya dengan lembut. "Tentu saja, Wei'er. Ibu sudah berjanji, bukan?"
Bai Longwei menatap ibunya dengan mata penuh harap. "Ibu menang lagi, kan?"
Lian Hua mengangguk, meski wajahnya sedikit lebih pucat dari biasanya. "Ibu selalu menang."
"Kalau begitu, ayo masak! Aku lapar sekali!" Bai Longwei menarik tangan ibunya dengan penuh semangat.
Lian Hua tersenyum, berjalan ke dapur dengan langkah tenang. "Baiklah, ibu akan memasak sesuatu yang enak untuk kita malam ini."
Lian Hua segera menyiapkan semua bahan masakan yang di butuhkan, tangannya begitu telaten dalam mengiris sayuran. Tapi lama kelamaan tangan telaten itu dengan perlahan melemah, sayuran yang di genggamannya tidak terpotong sempurna lagi, tubuh Lian Hua mulai mulai kehilangan keseimbangannya.
Sementara Bai Longwei duduk menunggu, ia memperhatikan ibunya yang terlihat sedikit berbeda. "Ibu, kenapa wajahmu pucat?"
Lian Hua hanya tertawa kecil. "Ibu hanya sedikit lelah. Tidak apa-apa."
Tidak ingin anaknya kecewa ia meneruskan pekerjaannya itu. Setelah makanan selesai di buat, mereka duduk bersama menikmati hidangan hangat di tengah dinginnya malam.
Bai Longwei makan dengan lahap, sementara Lian Hua berusaha menelan makanannya meski tubuhnya semakin lemah dengan tangan yang semakin gemetar. Lehernya mulai membiru, napasnya semakin berat.
"Ibu?" Bai Longwei menatap ibunya dengan khawatir.
Lian Hua tersenyum, namun kali ini senyum itu terasa berbeda.
Dalam sekejap, tubuhnya menegang. Matanya melebar, dan tanpa bisa ditahan, darah keluar dari mulutnya. Bai Longwei terperanjat, sumpit di tangannya terjatuh.
"Ibu! Ibu, kenapa?!"
Lian Hua terbatuk pelan, darah mengalir di sudut bibirnya. Ia mencoba mengangkat tangannya untuk mengusap kepala Bai Longwei, namun tenaganya sudah hampir habis.
"Jangan takut, Wei'er..." suaranya lirih.
"Ibu!" Bai Longwei menangis, mengguncang tubuh ibunya yang mulai lemas.