Bai Longwei terbangun dengan napas tersengal. Ia kaget sejenak, tubuhnya menegang ketika ingatannya kembali. Lalu pandangannya jatuh ke arah pintu yang terbuka setengah… dan di tanah yang basah oleh lumpur dan darah, ibunya masih terkapar tanpa kepala.
Darah yang sudah menghitam menempel di pakaian ibunya. Bai Longwei tidak berteriak. Tidak juga menangis. Yang terasa hanya sesak yang menghimpit dadanya, sakit yang tidak bisa ia sebut dengan kata-kata. Dunia seakan runtuh di hadapannya.
Ia melangkah pelan, lututnya bergetar, lalu duduk di samping tubuh itu. Tangannya yang kecil menyentuh jemari ibunya yang dingin kaku. Air matanya jatuh tanpa ia sadari.
"Apakah… anak kecil sepertiku memang tidak ditakdirkan bahagia, Ibu?" Ucapnya, getir.
Ia menunduk, menempelkan dahinya ke tangan ibunya, berharap hangat itu masih ada. Tapi yang ia temukan hanyalah dingin.
Ia menangis tersedu-sedu, langit memang tidak pernah melihat orang yang kesusahan.
"Ibu.. Wei'er akan balaskan dendam ibu!" Ujarnya dengan penuh tekad.
Berselang beberapa menit menunggu tangisnya reda, tangan kecilnya itu meraih pisau kecil yang ibunya berikan padanya dulu. Dengan hati-hati, ia mengambil beberapa kain besar dan menutupi tubuh ibunya.
Di pojok ruangan, ia menemukan sebuah obor kecil yang biasa dipakai ibunya. Dengan cepat ia menyalakan ujungnya dari bara tungku yang hampir padam. Ketika menyala, Bai Longwei menggenggam erat obor itu. Dengan napas berat, ia keluar dari rumah. Pintu rumahnya ia tutup rapat, dengan mayat ibunya yang sudah dibungkus kain di dalamnya.
Ia berjalan perlahan ke sekeliling rumah dan mulai membakar setiap sudutnya. Kobaran api mulai menjilat kayu-kayu rumah itu, Matanya menatap api yang semakin membesar, memantulkan cahaya merah di bola matanya.
"Selamat jalan, Ibu... Aku tidak akan menangis lagi. Aku akan bertahan, seperti yang kau inginkan. Aku akan membalas mereka... Aku bersumpah, aku akan membalas mereka!"
Matanya yang penuh dendam kembali mengeluarkan air mata. Ia membiarkan air mata itu jatuh untuk terakhir kalinya di hadapan rumah yang kini mulai runtuh dalam kobaran api.
Sungguh begitu sakit.
Selesai melihat abu rumah itu, Bai Longwei berbalik. Dengan langkah lemas, ia berjalan menuju tengah desa. Langkahnya terasa berat, tetapi ia tak berhenti.
Ketika sampai di tembok besar desa, dua penjaga berdiri menghadang. "Berhenti! Kau tidak bisa masuk ke desa!"
Bai Longwei menatap mereka dengan dingin. "Aku mau masuk."
"Mana tanda pengenalmu?" tanya salah satu penjaga.
"Tidak ada." keluh Bai Longwei
"Tidak bisa. kau tidak diizinkan melewati gerbang. Pergilah!"