Phantom Lily

Joselind Sienydea Salim
Chapter #2

-1- The Phantom Lily

Wah, aku sangat tidak sabar menantikan hari ini! Akhirnya, setelah sekian lama, aku dapat kembali ke taman bermain ini. Taman Bermain Drayton Manor ini tidak jauh berbeda dari ingatanku, tentu saja banyak atraksi dan wahana baru.

Oh, mungkin kalian penasaran tentang identitasku? Perkenalkan, namaku Vyella Draye, biasa dipanggil Ella atau Vivy. Berkat alasan tertentu, akhirnya aku dapat mewujudkan keinginanku datang ke tempat ini untuk terakhir kalinya. Tentu saja, untuk dapat masuk tanpa harus mengantri, aku meminta agen khusus untuk menutup taman bermain ini dari sore hingga malam. Katanya sih, kami baru boleh masuk jam 6 dan batasnya jam 9. Tak apalah, yang penting aku dapat menikmati wahana sepuasnya.

“Eh, Om mau naik wahana apa dulu?” Aku bertanya pada lelaki di sampingku. Ia yang akan menjadi teman kencanku seharian ini. Anehnya, waktu kutanya begitu, ia hanya menatapku dengan ekspresi tak tertarik.

“Ya sudah, aku tidak tanggung loh ya!” ucapku dengan nada mengejek. Huff, om ketus di sebelahku ini memang agak dingin dan minim ekspresi. Walaupun sebenarnya, aku tahu hatinya sebenarnya baik, hanya ia terlalu malu saja menunjukkannya.

“Tuan dan Nona, tolong pakai gelang ini. Gelang ini berlaku untuk semua wahana dan atraksi, termasuk area perlindungan hewan di sini. Ini denah taman bermain, apabila membutuhkan kami, pastikan Anda menghubungi nomor yang tertera.” ucap petugas itu sambil menatap Om Bas.

Aku hanya menatap petugas itu memasangkan gelang berbahan waterproof ke tangan kiriku. Desainnya lucu, dihias dengan gambar wajah hewan meerkat. Aku melirik ke arah pria di sampingku, tuh kan, wajahnya tetap tanpa ekspresi bahkan hanya mengangguk sebagai ucapan terima kasih. Seharian ini, akan kubuat ia banyak bicara, lihat saja!

Akhirnya, setelah melewati pemeriksaan alat pendeteksi logam, aku dapat melihat lampu-lampu taman yang menyala terang. Untung saja kami datang ke sini senja hari! Kapan lagi bisa melihat pemandangan seindah ini?

“Om, mau jalan-jalan ke area hewan dulu? Takut harinya makin gelap nih!”

“Sudah kubilang, panggil aku Sebastian saja, Bocah.”

Aku tahu nama lengkapnya Sebastian, tetapi namanya terlalu panjang dan aku malas menyebutnya. Namanya kusingkat menjadi Om Bas, melihat umurnya yang menurutku tidak pantas dipanggil yang lain selain om. Om ganteng yang satu ini memang irit bicara kok, mungkin sejak kecil ia kekurangan teman untuk diajak mengobrol. Rasanya prihatin deh, untung orangnya penurut. Kalau tidak, bisa-bisa aku naik darah dibuatnya.

Kebetulan, area hewan terletak paling dekat dengan pintu masuk. Tidak seperti yang kukira, ternyata area ini tidak berbau pesing dan cukup bersih terawat. Kupikir, beberapa burung yang dilepas akan buang air sembarangan. Sepertinya hewan-hewan di sini sudah terlatih tidak merepotkan petugas kebersihan yah, pintar sekali.

“Om, tolong fotoin dong, sama monyet yang ini!” pintaku sambil menyerahkan pocket camera yang kusimpan di saku hoodie.

Monyet yang kutunjuk sepertinya narsis, langsung sadar akan kamera. Begitu aku mengambil pose, ia langsung mendekat ke arah kaca dan terlihat penasaran. Duh, lucu sekali wajahnya, aku baru pertama melihat monyet dengan kumis tebal.

“Om, ini jenisnya apa?” tanyaku penasaran, kelihatannya Om Bas di sebelahku ini pandai menjawab pertanyaan sejenis itu.

“Namanya Emperor tamarin.” ucapnya sambil terus mengamati hewan-hewan yang lain. Tuh kan, masalah pengetahuan seperti ini si Om paham banget. Setelah bosan berinteraksi dengan para monyet, kami melanjutkan perjalanan. Kami tiba di daerah dengan kaca besar, hewan yang hidup di dalamnya pasti berukuran besar, mungkin gorilla atau gajah.

“Om! Lihat tuh, macannya lucu banget!”

Agaknya aku teriak-teriak seperti anak kecil, tapi bodo amat, toh taman bermain ini hanya dibuka khusus untuk kami berdua. Tidak bakal ada pengunjung lain yang terganggu dengan polusi suara yang kuhasilkan bukan? Entah mengapa, sejak dulu aku sangat menggemari keluarga besar kucing. Macan kan sering disebut sebagai kucing besar, eh, apa itu harimau yah? Sudahlah, yang penting aku menyukai mereka semua karena terlihat imut.

“Berikutnya kau mau ke mana, Bocah?” ucap Om Bas di sampingku sambil mengembalikan kameraku. Ugh, sudah seharian ini ia selalu memanggilku bocah. Kelihatannya ia sudah cukup bosan di area ini, kubawa ia naik wahana ekstrem saja!

“Ada roller coaster di dekat sini!” ucapku sambil menunjuk letak wahana tersebut di denah yang dipegang Om Bas. “Gimana Om, takut gak naiknya?” tanyaku sedikit iseng menggodanya. Kebanyakan tokoh yang terkesan dingin di serian film ternyata penakut hatinya, mungkin saja Om Bas termasuk salah satunya.

“Hm.” ucapnya lalu segera menuntun jalan ke arah wahana yang kumaksud. Aku jadi tidak sabar menantikan siapa yang pertama berteriak ketakutan.

***

Akhirnya aku yang berteriak paling keras karena terlalu bersemangat tentu saja. Om Bas di sebelahku malah sibuk dengan telepon genggamnya, hebatnya ia sama sekali tidak bersuara selama di atas tadi. Padahal, aku sudah sengaja memilih tempat duduk di barisan terdepan.

Lihat selengkapnya