Angin sejuk berhembus lembut di antara pepohonan tinggi saat Arunika melangkah keluar dari mobilnya. Ia memandang sekeliling, merasakan kerinduan dan ketidakpastian yang bercampur aduk di dalam hatinya. Desa kecil ini, yang dulunya penuh dengan kenangan indah, kini terasa asing dan menakutkan. Setelah bertahun-tahun tinggal di kota besar, kembali ke tempat asalnya seperti menyelami lautan kenangan yang dalam dan berbahaya.
Arunika menatap jalan setapak yang dipenuhi dedaunan kering, menuju rumah neneknya yang kini sepi. Dia ingat betul bagaimana setiap sudut desa ini pernah hidup dengan tawa dan kebahagiaan. Namun, semua itu berubah ketika tragedi menimpa keluarganya. Kini, desa ini hanya menyisakan bayang-bayang masa lalu yang kelam.
“Arunika!” Suara lembut memanggilnya dari belakang. Arunika berbalik dan melihat Ron, sahabat masa kecilnya, melambai dengan senyuman hangat di wajahnya. Dia tampak lebih dewasa, dengan rambut hitam legam yang sedikit berantakan dan mata yang penuh perhatian.
“Ron!” Arunika membalas sambil mendekat. Mereka saling berpelukan, merasakan kehangatan persahabatan yang tak lekang oleh waktu.
“Aku tidak percaya kamu akhirnya kembali,” kata Ron dengan nada ceria. “Desa ini tidak sama tanpa kamu.”
Arunika tersenyum tipis. “Aku juga tidak percaya. Rasanya aneh berada di sini lagi.”
Mereka berjalan menyusuri jalan setapak menuju rumah nenek Arunika, berbincang tentang kehidupan mereka selama bertahun-tahun terpisah. Ron bercerita tentang perkembangan desa dan bagaimana dia kini menjadi kepala desa setelah ayahnya meninggal dunia. Arunika mendengarkan dengan seksama, tetapi pikirannya terus melayang ke masa lalu—masa ketika mereka bermain bersama di hutan dan menjelajahi setiap sudut desa.
Saat mereka tiba di rumah neneknya, Arunika merasa campur aduk. Rumah kayu tua itu masih berdiri kokoh meski terlihat sedikit usang. Nenek Laras, dukun tua desa yang dikenal bijaksana, kini sudah lanjut usia dan sakit-sakitan. Arunika merasa khawatir melihat neneknya terbaring lemah di ranjang.
“Nenek!” teriak Arunika sambil berlari menghampiri neneknya.
Nenek Laras membuka matanya perlahan dan tersenyum lemah. “Anakku, kamu sudah kembali.”
Arunika merasakan air mata menggenang di matanya saat dia memegang tangan neneknya. “Aku akan merawatmu, Nenek.”
Setelah beberapa hari berlalu, Arunika mulai menyesuaikan diri dengan kehidupan di desa. Dia membantu merawat neneknya dan berbincang dengan penduduk desa yang masih mengenalnya. Namun, ada satu hal yang terus menghantuinya—cermin tua yang terletak di rumah kosong di ujung desa.