Malam itu, Arunika terbangun dari tidurnya dengan keringat dingin membasahi pelipisnya. Mimpinya dipenuhi dengan bayangan samar yang melayang-layang di sekelilingnya, wajah-wajah yang tidak dikenalnya, dan suara-suara yang berbisik dalam gelap. Dia merasakan ketakutan yang mendalam, seolah-olah ada sesuatu yang mengawasinya dari kegelapan.
Setelah beberapa saat berusaha menenangkan diri, Arunika memutuskan untuk bangkit dari tempat tidur. Dia berjalan ke jendela dan membuka tirai, membiarkan cahaya bulan menerangi ruangan. Desa tampak tenang di bawah sinar bulan purnama, tetapi hatinya tetap gelisah. Dia tahu dia tidak bisa mengabaikan rasa ingin tahunya tentang cermin itu lebih lama lagi.
Keesokan harinya, Arunika memutuskan untuk menemui Nenek Laras. Dia merasa perlu mendapatkan nasihat dari neneknya mengenai cermin dan apa yang mungkin terjadi jika dia terus mendekatinya. Dengan langkah mantap, dia menuju rumah neneknya yang terletak tidak jauh dari rumahnya.
Setibanya di sana, Arunika menemukan Nenek Laras sedang duduk di beranda, menatap jauh ke arah hutan. Wajah neneknya tampak lelah, tetapi matanya masih memancarkan kebijaksanaan yang mendalam.
“Nenek,” panggil Arunika lembut sambil mendekat.
Nenek Laras menoleh dan tersenyum tipis. “Arunika, cucuku. Apa yang membawamu ke sini pagi-pagi?”
“Aku ingin berbicara tentang cermin tua di rumah kosong itu,” jawab Arunika dengan hati-hati.
Mendengar nama cermin tersebut, ekspresi neneknya berubah serius. “Ah, cermin itu… banyak yang tidak tahu betapa berbahayanya.”
Arunika duduk di samping neneknya, merasakan ketegangan di udara. “Apa yang sebenarnya terjadi dengan cermin itu? Kenapa orang-orang memperingatkanku untuk menjauhinya?”
Nenek Laras menghela napas panjang. “Cermin itu bukan hanya sekadar benda mati. Ia menyimpan banyak rahasia dan kenangan—terutama bagi mereka yang tidak bisa melepaskan masa lalu mereka.”
“Apakah itu berarti… ia bisa menunjukkan sesuatu?” tanya Arunika dengan rasa ingin tahu.