Arunika dan Ron berdiri di tengah lapangan kecil, dikelilingi oleh sosok-sosok samar yang tampak penuh harapan dan kesedihan. Mereka tahu bahwa mereka tidak bisa mundur sekarang; jiwa-jiwa ini membutuhkan bantuan mereka untuk menemukan kedamaian.
“Siapa kamu?” tanya Arunika dengan lembut kepada wanita muda yang mendekat. “Apa yang terjadi padamu?”
“Aku adalah Maya,” jawab sosok itu, suaranya bergetar. “Aku terjebak di sini karena kesalahan yang kulakukan. Aku tidak bisa melanjutkan hidupku.”
“Kesalahan apa?” tanya Ron, berusaha memahami lebih dalam.
Maya menundukkan kepala, seolah-olah merasa malu untuk mengungkapkan kebenaran. “Aku… aku pernah menyakiti orang-orang yang kucintai. Ketika aku melihat bayanganku di cermin, aku menyadari betapa aku telah gagal.”
Arunika merasakan empati mengalir dalam dirinya. Dia tahu betul bagaimana perasaan terperangkap dalam penyesalan dan kesedihan. “Kami ingin membantu kamu,” katanya dengan tulus. “Kami ingin membebaskanmu dari kegelapan ini.”
Maya mengangkat wajahnya, harapan mulai bersinar di matanya. “Tapi bagaimana? Aku tidak tahu cara untuk melakukannya.”
“Kita harus menghadapi masa lalu kita,” jawab Arunika dengan tegas. “Kita harus mengingat semua yang telah terjadi dan menerima kenyataan itu.”
Ron menambahkan, “Kami bisa melakukannya bersama-sama. Kamu tidak sendirian lagi.”
Maya mengangguk pelan, tetapi wajahnya masih menunjukkan keraguan. “Aku takut akan apa yang akan muncul.”
“Ketakutan adalah bagian dari proses ini,” kata Arunika dengan lembut. “Tetapi kita harus berani menghadapi apa pun yang ada di depan kita agar bisa bebas.”
Dengan tekad baru, mereka bertiga mulai berjalan menuju arah hutan di mana sosok-sosok lain berdiri menunggu—jiwa-jiwa lain yang juga terperangkap dalam kegelapan mereka sendiri.
Saat mereka mendekati sosok-sosok tersebut, Arunika merasakan getaran energi yang kuat mengalir di antara mereka—seolah-olah mereka semua terhubung dalam satu tujuan yang sama: untuk menemukan kedamaian.