Setelah membantu Lila dan jiwa-jiwa lainnya menemukan jalan pulang, Arunika dan Ron kembali ke desa dengan perasaan campur aduk. Meskipun mereka telah membantu banyak jiwa terperangkap, ketegangan di dalam diri Arunika masih terasa. Dia tahu bahwa perjalanan ini belum sepenuhnya berakhir—masih ada sesuatu yang lebih besar yang harus mereka hadapi.
Malam itu, saat duduk di beranda rumah neneknya, Arunika merenungkan semua yang telah terjadi. Dia merasa lebih kuat, tetapi juga lebih sadar akan tanggung jawab yang kini ada di pundaknya. Setiap jiwa yang mereka bantu membawa harapan baru, tetapi juga menambah beban emosional yang harus dia hadapi.
“Ron,” panggil Arunika, memecah keheningan malam. “Apa kau pernah berpikir tentang apa yang mungkin terjadi jika kita tidak bisa membantu semua jiwa?”
Ron menatapnya dengan serius. “Aku telah memikirkan hal itu. Kita tidak bisa membiarkan kegelapan menang. Kita harus terus berjuang.”
Arunika mengangguk, menyadari bahwa meskipun mereka telah berhasil membantu beberapa jiwa terperangkap, masih ada banyak hal yang harus dipelajari dan dihadapi. Dia merasa bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang membebaskan jiwa-jiwa lain, tetapi juga tentang menemukan jati dirinya sendiri.
Keesokan harinya, mereka berdua memutuskan untuk kembali ke hutan untuk menjelajahi area baru dan mencari tahu apakah ada jiwa-jiwa lain yang membutuhkan bantuan. Mereka berangkat lebih awal sebelum matahari terbit, mengikuti jalan setapak menuju tempat-tempat baru yang belum pernah mereka jelajahi sebelumnya.
Saat memasuki hutan, suasana terasa tenang dan damai. Namun, Arunika merasakan ketegangan di udara—seolah-olah ada sesuatu yang mengintai dari kegelapan.
“Mari kita tetap waspada,” kata Ron saat mereka melanjutkan perjalanan.
Setelah beberapa saat berjalan, mereka tiba di sebuah area terbuka yang dikelilingi oleh pepohonan tinggi. Di tengah area itu terdapat sebuah batu besar dengan ukiran aneh—simbol-simbol yang tampak kuno dan misterius.
“Lihat!” seru Ron sambil menunjuk ke arah batu tersebut. “Apa itu?”
Arunika mendekat dan melihat ukiran-ukiran pada batu itu—gambar-gambar yang tampaknya menggambarkan perjuangan antara cahaya dan kegelapan.
“Ini mungkin tempat suci atau tempat pemujaan,” kata Arunika sambil menyentuh permukaan batu itu dengan hati-hati.
Saat dia menyentuh batu tersebut, sebuah getaran lembut terasa mengalir melalui tubuhnya—seolah-olah batu itu memiliki energi hidup tersendiri. Dia merasakan ikatan kuat antara dirinya dan tempat ini; seolah-olah ada sesuatu yang memanggilnya untuk menggali lebih dalam.
“Arun?” suara Ron memecah konsentrasi Arunika. “Kau baik-baik saja?”
“Aku merasa… aneh,” jawabnya pelan. “Seperti ada sesuatu yang ingin disampaikan.”
Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar dari dalam hutan—sebuah suara berat yang membuat dinding pepohonan bergetar. Arunika dan Ron saling berpandangan, ketakutan menyergap mereka.
“Siapa di sana?” tanya Arunika dengan suara bergetar.
Dari kegelapan hutan, sosok besar mulai muncul—bayangan gelap dengan mata merah menyala yang menatap tajam ke arah mereka.