Hari-hari setelah pertempuran melawan kegelapan terasa lebih cerah bagi Arunika dan Ron. Desa kecil mereka tampak hidup kembali, dengan penduduk desa yang tersenyum dan berinteraksi satu sama lain. Kegelapan yang pernah menyelimuti desa seolah telah sirna, dan Arunika merasa bangga telah membantu jiwa-jiwa terperangkap menemukan jalan pulang.
Namun, meskipun suasana desa semakin cerah, Arunika merasakan ada sesuatu yang masih mengganjal di dalam hatinya. Dia tahu bahwa perjalanan ini belum sepenuhnya berakhir; masih ada banyak pelajaran yang harus dipelajari dan tantangan yang harus dihadapi.
Suatu sore, setelah membantu neneknya di kebun, Arunika duduk di beranda sambil memandangi hutan lebat di kejauhan. Hatinya bergetar saat mengingat semua jiwa yang telah dia bantu—semua harapan dan cinta yang telah mereka bagi.
“Arun,” suara Ron memecah lamunan Arunika. “Apa kau siap untuk menjelajahi hutan lagi?”
“Ya,” jawab Arunika sambil tersenyum. “Aku merasa kita masih bisa menemukan lebih banyak jiwa yang membutuhkan bantuan.”
Mereka berdua bersiap-siap untuk kembali ke hutan, membawa senter dan buku catatan untuk mencatat pengalaman mereka. Saat memasuki hutan, suasana terasa tenang dan damai. Cahaya matahari menembus celah-celah pepohonan, menciptakan pola cahaya yang indah di tanah.
Setelah beberapa saat berjalan, mereka tiba di area terbuka yang familiar—tempat di mana mereka pertama kali bertemu dengan Maya. Namun, kali ini suasana terasa berbeda; ada energi positif yang mengalir di sekitar mereka.
“Lihat!” seru Ron sambil menunjuk ke arah sebuah cahaya lembut yang bersinar di antara pepohonan. “Sepertinya ada sesuatu di sana!”
Mereka berdua mendekat dan melihat sosok seorang wanita muda berdiri di tengah cahaya—wajahnya penuh harapan dan senyuman hangat.
“Siapa kamu?” tanya Arunika dengan lembut.
“Aku adalah Sari,” jawab sosok itu dengan suara lembut. “Aku datang untuk mengucapkan terima kasih.”