Setelah menghadapi kegelapan yang mengintai di dalam cermin, Arunika dan Ron merasa lebih kuat dan lebih bersatu dari sebelumnya. Mereka telah berhasil mengalahkan bayangan-bayangan yang menghantui mereka, tetapi Arunika tahu bahwa perjalanan ini tidak hanya tentang mengalahkan kegelapan; ini juga tentang menemukan cahaya dalam diri mereka sendiri.
Saat mereka berjalan pulang menuju desa, Arunika merasakan kehangatan dari Kristal Harapan yang masih ada di tangannya. Batu itu berkilau lembut, seolah-olah memberi semangat baru padanya. Dia tahu bahwa dia harus menggunakan kekuatan ini untuk membantu orang lain, bukan hanya jiwa-jiwa terperangkap tetapi juga orang-orang di desanya yang mungkin juga membutuhkan penyembuhan.
Setibanya di desa, suasana terasa cerah dan penuh kehidupan. Anak-anak bermain di jalanan, dan penduduk desa saling menyapa dengan senyuman. Namun, Arunika merasakan ada beberapa orang yang tampak lebih pendiam dan terasing—seolah-olah mereka menyimpan beban emosional yang dalam.
“Ron,” kata Arunika sambil menunjuk ke sekelompok orang yang duduk di sudut. “Lihatlah mereka. Sepertinya mereka butuh bantuan.”
Ron mengikuti arah pandangnya dan mengangguk. “Kau benar. Mungkin kita bisa berbicara dengan mereka.”
Mereka mendekati kelompok itu—sekelompok wanita tua yang tampak khawatir dan tertekan. Saat Arunika dan Ron mendekat, wanita-wanita itu menatap mereka dengan tatapan penuh harapan namun juga keraguan.
“Selamat pagi,” sapa Arunika dengan lembut. “Kami ingin tahu apakah ada yang bisa kami bantu.”
Salah satu wanita tua, Ibu Siti, menghela napas panjang sebelum berbicara. “Kami telah kehilangan banyak hal selama bertahun-tahun—anak-anak kami, suami-suami kami… Semua karena kegelapan yang melanda desa ini.”
Arunika merasakan empati mendalam saat mendengar kata-kata itu. Dia tahu betapa sulitnya kehilangan orang-orang terkasih dan bagaimana rasa sakit itu bisa membebani jiwa seseorang.
“Kami ingin membantu kalian menemukan jalan pulang ke cahaya,” kata Arunika tegas. “Kami telah membantu jiwa-jiwa terperangkap sebelumnya, dan kami ingin melakukan hal yang sama untuk kalian.”
Wanita-wanita itu saling berpandangan, tetapi tidak ada yang berbicara. Mereka tampak ragu-ragu, seolah-olah terjebak dalam ketakutan dan penyesalan mereka sendiri.
“Jangan takut,” kata Ron sambil melangkah maju. “Kami telah membantu banyak orang sebelum kalian. Kami bisa membantu kalian juga.”
Ibu Siti menatap Ron dengan mata penuh harapan tetapi juga keraguan. “Tapi bagaimana jika kami tidak bisa melupakan kesalahan kami? Bagaimana jika kegelapan ini tidak pernah hilang?”
Arunika merasa hatinya berat mendengar kata-kata itu. Dia tahu betapa sulitnya menghadapi kenyataan pahit tentang diri sendiri—bagaimana rasa bersalah dapat mengikat seseorang dalam kegelapan selamanya.
“Kita semua membuat kesalahan,” jawab Arunika dengan lembut. “Yang penting adalah bagaimana kita belajar dari kesalahan itu dan berusaha memperbaikinya.”
Dia melanjutkan, “Kita bisa mulai dengan mengenang kembali momen-momen indah dalam hidup kita—momen ketika kita merasa bahagia dan dicintai.”