Setelah merayakan cahaya dan kebersamaan di desa, Arunika merasa semangatnya semakin menguat. Namun, di dalam hatinya, dia juga merasakan ketegangan yang tidak bisa dia hilangkan sepenuhnya. Dia tahu bahwa meskipun mereka telah berhasil mengalahkan kegelapan sebelumnya, ujian baru mungkin akan datang.
Suatu pagi, saat Arunika sedang berjalan-jalan di sekitar desa, dia melihat beberapa penduduk desa berkumpul di dekat tepi hutan. Raut wajah mereka menunjukkan kekhawatiran. Arunika mendekati kerumunan itu dan bertanya, “Ada apa? Apa yang terjadi?”
Seorang pria tua bernama Pak Jaya menjelaskan, “Kami mendengar suara aneh dari dalam hutan. Suara itu terdengar seperti jeritan dan tangisan. Kami khawatir ada sesuatu yang tidak beres.”
Arunika merasakan ketegangan di dalam dirinya meningkat. “Kita harus menyelidikinya,” katanya dengan tegas. “Kita tidak bisa membiarkan kegelapan kembali mengganggu kita.”
Ron, yang berdiri di sampingnya, mengangguk setuju. “Kita harus pergi bersama-sama. Jika ada bahaya, kita lebih kuat jika bersatu.”
Penduduk desa mulai bersemangat dan setuju untuk mengikuti Arunika dan Ron ke dalam hutan. Mereka semua membawa lilin dan Kristal Harapan sebagai simbol cahaya yang akan membimbing mereka.
Saat memasuki hutan, suasana terasa mencekam. Suara-suara aneh semakin jelas terdengar—seolah-olah ada banyak jiwa yang terperangkap dalam kesedihan. Arunika merasakan getaran kuat dari Kristal Harapan di tangannya; cahaya birunya bersinar lebih terang saat mereka melangkah lebih dalam.
“Di mana suara itu berasal?” tanya salah satu penduduk desa dengan suara bergetar.
Arunika memperhatikan sekelilingnya dan mencoba merasakan arah suara tersebut. “Mari kita ikuti suara itu,” katanya sambil melangkah maju.
Setelah beberapa waktu berjalan, mereka tiba di sebuah area terbuka yang gelap dan suram. Di tengah area itu terdapat sebuah batu besar dengan ukiran aneh—simbol-simbol yang tampaknya menggambarkan jiwa-jiwa terperangkap.