Sore itu, matahari mulai merunduk perlahan di balik bukit, menyebarkan sinar keemasan yang hangat ke seluruh desa kecil yang menjadi tempat kelahiran Arunika. Angin sepoi-sepoi berhembus lembut, mengibaskan dedaunan pohon besar yang berdiri kokoh di pinggir jalan setapak. Di bawah naungan pohon rindang itu, Arunika duduk bersandar pada batang kayu yang kasar, matanya menatap langit yang perlahan berubah warna menjadi jingga dan ungu.
Rasa damai menyelimuti hatinya, namun di balik ketenangan itu, pikirannya melayang jauh ke masa lalu—ke hari-hari ketika desa ini masih penuh dengan tawa dan keceriaan. Ia teringat betapa seringnya ia dan Ron, sahabat masa kecilnya, menghabiskan waktu bermain di bawah pohon yang sama ini. Tempat ini bukan sekadar pohon biasa bagi mereka; ia adalah saksi bisu dari segala cerita, mimpi, dan janji yang pernah mereka buat bersama.
“Arun!” suara ceria memecah keheningan sore itu. Ron berlari mendekat dengan langkah ringan, membawa sekeranjang kecil berisi buah-buahan hasil panen hari itu. Wajahnya yang cerah dan penuh semangat membuat Arunika tersenyum.
“Kau cepat sekali, Ron,” katanya sambil menerima sekeranjang itu.
Ron duduk di sampingnya, menghela napas lega setelah perjalanan singkat dari ladang. “Aku ingin memastikan kau tidak sendirian. Kadang aku merasa kita berdua adalah satu-satunya yang masih percaya pada harapan di desa ini.”
Arunika menatap Ron dengan mata penuh pengertian. “Aku juga merasa begitu. Tapi aku yakin, selama kita bersama, kita bisa menyalakan cahaya itu untuk orang lain.”
Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati kehangatan persahabatan yang tak lekang oleh waktu. Suasana di sekitar mereka begitu tenang, hanya terdengar suara angin yang berbisik lembut di antara dedaunan dan kicauan burung yang mulai pulang ke sarangnya.
“Terkadang aku takut, Arun,” kata Ron pelan, suaranya hampir tak terdengar. “Takut bahwa semua yang kita lakukan tidak cukup. Bahwa kegelapan yang menyelimuti desa ini terlalu besar untuk kita lawan.”
Arunika menggenggam tangan Ron dengan erat, memberikan kekuatan melalui sentuhan sederhana itu. “Ketakutan itu wajar, Ron. Tapi kita tidak boleh membiarkannya menghalangi langkah kita. Setiap langkah kecil yang kita ambil adalah cahaya yang menerangi jalan—bukan hanya untuk kita, tapi untuk semua orang yang kita sayangi.”
Ron tersenyum, merasa lebih kuat dengan kata-kata sahabatnya. “Kau benar. Mari kita terus berjalan, bersama.”
Matahari semakin tenggelam, dan langit berubah menjadi warna ungu keemasan yang memukau. Di bawah pohon rindang itu, Arunika dan Ron berjanji untuk terus menjaga api harapan, apapun yang terjadi.