Malam itu, setelah hari yang panjang penuh dengan refleksi dan penemuan di hutan lama, Arunika dan Ron kembali ke desa dengan perasaan yang campur aduk—antara lega, harapan, dan sedikit kegelisahan. Meski mereka telah menemukan kekuatan baru dan keyakinan, ada sesuatu yang terasa belum selesai, sesuatu yang terus berbisik di antara desir angin malam.
Setibanya di rumah nenek Laras, Arunika duduk di beranda sambil menatap langit malam yang bertabur bintang. Suara jangkrik dan desir angin menyatu menciptakan simfoni alam yang menenangkan. Namun, di balik ketenangan itu, ada bisikan halus yang seolah ingin menyampaikan pesan.
Ron duduk di sampingnya, memandang ke arah yang sama. “Aku mendengar bisikan itu juga, Arun. Seperti ada sesuatu yang ingin kau dengar.”
Arunika mengangguk pelan. “Aku merasa angin malam membawa pesan dari masa lalu—mungkin dari nenek atau dari hutan itu sendiri.”
Mereka berdua terdiam, membiarkan suara alam mengisi ruang di antara mereka. Perlahan, Arunika mulai mengingat kembali cerita-cerita yang pernah diceritakan nenek Laras tentang kekuatan alam dan roh penjaga desa.
“Nenek pernah bilang,” ujar Arunika, “bahwa angin malam membawa suara jiwa-jiwa yang belum menemukan kedamaian. Mungkin ini saatnya kita mendengarkan mereka.”
Ron menatap Arunika dengan mata penuh perhatian. “Bagaimana caranya kita bisa mendengarkan suara itu dengan benar?”
Arunika tersenyum kecil. “Dengan hati terbuka dan pikiran tenang. Kita harus membiarkan diri kita menjadi hening, agar suara-suara itu bisa masuk.”