Aku memasuki lobi fakultas dan berjalan menuju lift dengan memegang buku Farmakope di tangan kiriku. Buku wajib anak Farmasi. Buku ini lumayan tebal, makanya aku tidak memasukkannya ke dalam tas, berat. Lebih baik dipegang saja. Biar bisa kelihatan anak pintar juga kemana-mana bawa Farmakope.
Aku memencet tombol naik dan menunggu pintu lift terbuka.
“Hai Ziva !” sapa seorang pria menghampiriku.
Aku yang sedang melihat jam tangan, sontak mengarahkan pandanganku kepada pria yang baru saja menyapa itu. Demi Shincan yang bajunya tiap hari merah terus, ternyata itu Geva. Geva yang menyapaku. Pantas saja hari ini aku rasanya happy sekali berangkat ke kampus, ternyata akan disapa jodoh rupanya.
Aku berusaha tenang dan terlihat biasa-biasa saja. Ingat ! Stay cool. “Hai Geva !” sapaku dengan senyum tipis.
“Gue perhatikan lo tiap hari bawa Farmakope ya ? Rajin banget.” kata Geva tersenyum sambil melirik Farmakope yang aku pegang.
What ? Jadi tiap hari Geva perhatikan aku ? Tolong Geva tolong. Jangan buat aku melayang pagi-pagi. Nggak enak nanti saingan sama burung-burung.
Aku terkekeh. “Nggak ah. Biasa aja.”
“Gitu ya... Orang pintar mah beda.” ucap Geva menyeringai.
Tuh kan benar kelihatan pintar. Padahal bukunya baru dibuka pas di kampus, di rumah mah dipajang doang sampai berdebu.
“Apaan sih. Lo kali yang pintar !” balasku sambil menepuk pelan pundak Geva.
Nepuk nggak apa-apa dong ? Kan teman. Biar kelihatan friendly aja gitu.
Kami pun tertawa bersama, sampai segerombolan senior datang dan langsung membuat kami berdua kikuk. Gagal deh berduaan dalam lift.