Satu bulan sudah aku menjalani kehidupanku sebagai mahasiswa. Kenyataan miris harus aku terima. Ternyata kehidupan mahasiswa tidak sekeren dan seindah di sinetron-sinetron. Tidak seperti yang aku bayangkan. Semua itu benar-benar fiktif. Persis seperti yang selalu dituliskan di opening sinetron.
Makin hari makin berat. Makin hari makin sulit. Makin hari tugas makin menumpuk. Deadline yang berdekatan membuat kepala makin pening.
“Arghhh.. Kayaknya gue salah pilih jurusan deh.” teriak Neta frustasi sambil mengacak-acak rambutnya.
Aku dan Neta memilih untuk menyegarkan pikiran sejenak di gazebo taman kampus.
“Sabar nak !” kataku sambil menyapu-nyapu pundak Neta.
“Lo masih kuat ?” tanya Neta.
“Kalau dari lubuk hati yang paling dalam jujur gue capek Net. Tapi mau gimana lagi ? Kita sudah terlanjur nyebur. Mau nggak mau harus tetap berenang sampai tujuan.” aku berusaha tegar. Walaupun rasanya ingin berteriak juga.
“Iya juga sih. Tau gitu dulu gue nurutin Bokap aja ngambil jurusan komunikasi.” Neta memanyunkan bibirnya.
“Nggak boleh gitu. Nggak ada yang kebetulan kok. Syukurin aja.”
Terkadang menguatkan orang lain lebih mudah daripada menguatkan diri sendiri.
Aku dan Neta kemudian membuka kaleng susu beruang yang kami beli dan meminumya.
“Eh eh Geva tuh.” kata Neta menggebu-gebu.
Aku yang sementera minum nyaris keselek.
“Mana mana ?” responsku sambil celingak-celinguk.
“Tapi bohong. Eaaaaaa…” balas Neta sambil menjulurkan lidahnya dan tertawa hebat.
“Sialan lo !” aku menatap tajam Neta.
“Lagian kalau suka kenapa nggak bilang langsung aja sih ke orangnya ?” kata Neta memberi saran.
“Lo gila ya ? Ngejar cowok aja gue gengsi apalagi nyatain perasaan langsung ? Mau dikemanain harga diri gue Netaaaaa ?” balasku tepat di depan kuping Neta.