Pharmaceutical Love

Shinta Jolanda Moniaga
Chapter #7

Anak Rantau

Sebenarnya bisa-bisa saja untuk hang out pada saat weekend. Tapi ya harus rela tidak tidur untuk mengerjakan tugas dan laporan yang selalu update tiap hari. Makanya kebanyakan anak Farmasi memilih untuk mengisi weekend dengan menyicil tugas. Kalau dipikir-pikir lumayan juga sih, pengeluaran bisa lebih irit.

Aku adalah orang yang sangat tidak suka ribet. Biasanya kalau teman-temanku datang untuk mengerjakan tugas kelompok di rumah, hanya satu style andalanku. Rambut dicepol, sandal jepit, celana pendek sampai lutut dan kaos oblong kebesaran.

Tapi karena yang akan datang ini calon. Calon Kakek dari cucu-cucuku nanti. Hari ini aku harus kelihatan tetap cantik. Biar kata cuman di rumah sendiri. Cukup sekali saja Geva melihat penampilan kucelku sewaktu OSPEK kemarin. Jangan pernah lagi.

Aku sengaja mencatok rambut model layer ini agar lebih kelihatan berbentuk. Aku juga memakai concealer untuk menutupi bekas-bekas jerawat yang timbul karena sudah keseringan begadang. Semenjak mengenal laporan praktikum tentunya. Tak lupa, tambahkan sedikit lipcream berwarna nude agar bibirku tidak kelihatan pucat.

Aku memakai kaos hitam polos yang pas dengan ukuran badanku dipadukan dengan celana bahan berwarna krem. Mau nge-mal Bu ?

Aku, Neta dan Geva mengerjakan tugas di ruang tamu rumahku, ditemani dengan brownies kukus bikinan Mama.

“Gev. Lo asli Jakarta ?” tanya Neta sambil mengetik di laptopnya.

Kali ini tugasnya dalam bentuk Power Point. Setidaknya tangan kami bisa berisitirahat sejenak dari yang namanya tulis manual.

“Bukan. Gue dari Manado.” jawab Geva.

“Edodoe orang Manado dang ngana ?” kata Neta menirukan logat Manado.

Neta bukanlah orang Manado. Tapi dulu aku dan Neta pernah menonton film senjakala di Manado. Makanya logat Manado selalu terngiang-ngiang di kepala Neta. Kata Neta logatnya unik. Asik.

“Terus di Jakarta tinggal di mana ? Nge-kos ?” tanyaku. Kesempatan buat kepo nih.

 “Enggak kok. Kebetulan Om gue ada yang tinggal di Jakarta, jadi gue dipanggil tinggal bareng sama dia.” jawab Geva.

“Oh gitu… Nah lo kan anak rantau nih. Lo setuju nggak sama kebanyakan orang yang bilang kalau biaya hidup di Jakarta itu mahal ?” tanya Neta serius, seperti sudah tak sabar mendengar jawaban Geva.

“Bukan biaya hidup yang mahal. Tapi gaya hidup.” sanggahku cepat.

Aku selalu heran dengan orang yang mengatakan biaya hidup di kota A mahal, nggak kayak di kota B. Bukan biaya hidupnya. Tapi gaya hidupnya. Kalau gaya hidup selangit, ya biayanya pasti mahal. Kalau gaya hidup sederhana, biaya pasti selalu cukup.

“Setuju sama Ziva.” kata Geva sambil menunjukku.

“Kalau buat orang yang rumah keduanya mal kayak lo pasti mahal lah.” tambahku meledek Neta.

“Kayak lo nggak aja !” balas Neta tak terima.

Lihat selengkapnya