Selesai ujian aku dan Neta langsung berangkat ke salon yang terletak di mal yang sama dengan bioksop yang akan menjadi saksi kencan ala-ala aku dan Geva. Kenapa kencan ala-ala ? Karena sekarang pergi nontonnya masih berempat, bukan berdua. Hitung-hitung gladi resik lah sebelum kencan beneran. Biar nanti kalau sudah kencan beneran, tidak kaku lagi. Iya kan ?
Aku ke salon hanya untuk merapikan rambut. Tenang saja, aku tidak seniat itu sampai harus make up ke salon segala. Aku mau pergi nonton. Bukan mau kondangan.
Aku memotong sedikit rambut layer ku ini agar lebih kelihatan rapi. Lalu aku melakukan serangkaian treatment agar rambutku terlihat lebih halus dan tidak kering-kering amat. Terakhir, aku meminta hair stylist men-blow rambutku se-indah dan se-natural mungkin. Urusan rambut sudah oke.
Karena tidak sempat pulang ke rumah, aku dan Neta pergi ke salah satu store baju favorit kami. Kenapa favorit ? Harganya tidak terlalu mahal pastinya. Maklum mahasiswa. Setelah itu kami langsung mengganti baju dan touch up sedikit di toilet mal. Tadi kami sudah mandi sebelum ke kampus. Ke kampus juga sudah lumayan siangan. Ujiannya di ruangan ber-ac pula. Ke mal juga naik mobil. Jadi urusan badan masih oke dong. Tinggal disemprot parfum sedikit.
“Lo sudah izin sama Hans belum ?” tanyaku kepada Neta sambil menunggu pintu lift terbuka.
Neta menganggukan kepalanya. “Sudah.”
“Dia nggak marah lo jalan sama cowok lain ?” tanyaku lagi.
“Enggak. Gue bilang aja ke dia kalau malam ini lo sama gebetan lo sama-sama ngajak nyamuk. Karena malu kencan berdua doang.” jawab Neta tersenyum jail.
“Dasar comel !” balasku sambil mendorong pelan pundak Neta.
Hans adalah pacar Neta. Mereka sudah berpacaran sejak SMA. Kurang lebih sudah hampir empat tahun. Pada saat masuk kuliah, Hans sengaja mengikuti Neta untuk mendaftar di Fakultas Kedokteran di salah satu Universitas Negeri ternama di Jakarta. Alasannya agar bisa bersama terus dengan Neta. Tapi sayangnya, Neta yang sangat niat, justru gagal masuk Fakultas Kedokteran. Sementara Hans yang hanya ikut-ikutan malah lulus. Namanya nasib orang tidak ada yang tahu.
Keluar lift, aku dan Neta langsung berjalan menuju ke bioskop dan melihat Alex dan Geva yang ternyata sudah sampai dan sedang mengobrol di depan bioskop.
“Hai Gev, Lex. Sudah lama ?” sapaku ramah.
“Enggak kok. Belum lama.” balas Geva juga sangat ramah.
“Langsung beli tiket aja yuk. Pada nggak mau kan pulang-pulang lehernya pada kayak jerapah karena dapat tempat duduk paling bawah ?” kata Neta sambil menunjuk aku, Geva dan Alex dengan telunjuknya.
“Ya udah yuk.” balas Alex.
Beruntungnya kami masih mendapat tempat duduk di deretan E, yang menurutku itu tempat paling strategis. Kami kemudian masuk studio dan menaiki tangga, Alex paling depan diikuti oleh aku, Neta dan Geva paling belakang. Setelah sampai di deretan E, Alex langsung mengambil tempat duduk paling pojok, sementara Neta langsung menarik lenganku dan menerobos begitu saja. Aku merunduk dan tersenyum tipis. Aku tahu maksud Neta, ia sengaja membuat aku duduk di samping Geva. Pintar juga anak ini.
“Kurang pengertian apa coba gue.” bisik Neta setelah aku duduk di sampingnya.
“Juara memang lo.” balasku.
*****
Keluar bioskop Alex langsung pamit dengan sangat terburu-buru. Katanya Ibunya sudah menunggu di parkiran. Jadi harus segera pulang. Bukan anak Mama. Tapi Ibunya saja yang terlalu perhatian.
Aku, Neta dan Geva kemudian turun menggunakan eskalator. Kalau pakai lift sampainya cepat, desak-desakkan lagi. Kalau pakai eskalator kan turunnya bisa lebih lama, bisa lebih lama bersama Geva.
Ketika hendak turun ke lantai dasar, kami melewati sebuah toko mainan yang menjual action figure. Melihat itu, jiwa hedon ku langsung aktif. Aku memang sangat suka mengkoleksi action figure. Aku bahkan mempunyai lemari khusus di kamarku untuk memajang koleksi-koleksiku itu. Kata Mba Shena, masa kecilku tidak bahagia. Bukan tidak bahagia. Masalahnya waktu aku kecil, aku belum tahu ada mainan yang namanya action figure. Tahunya Barbie.
“Net. Mampir bentar dong ke sana. Gue pengen lihat koleksi barunya.” rengekku kepada Neta sambil menunjuk ke arah toko mainan itu.
“Lo suka koleksi action figure juga ?” tanya Geva dengan ekspresi tak percaya.
“Bukan suka lagi dia. Tapi suka banget. ” sambung Neta sambil bersedekap.
“Sama dong.” balas Geva tersenyum lebar lalu menatapku.
Nah kan. Ku bilang juga apa. Fix jodoh sih ini.
“Ya sudah kalau gitu kalian duluan aja ke sana. Gue mau ke toilet dulu. Nanti gue susul.” kata Neta yang segera meninggalkan aku dan Geva begitu saja.
Neta memang paling jago memanfaatkan situasi. Korslet-korslet begini otaknya bermanfaat juga.
“Ya udah yuk. Sekalian gue juga mau lihat-lihat.” ajak Geva.
“Oke.” balasku