Tahun baru, suasana baru dan semangat baru. Waktunya semester baru. Akhirnya sekarang aku bisa melangkahkan kakiku ke satu step lebih maju, semester dua.
Walaupun perjalanan untuk menjadi Sarjana Farmasi masih sangat panjang, tapi aku sangat bersyukur bisa sampai ditahap ini. Apalagi setelah mengetahui jumlah mahasiswa diangkatanku mulai berkurang. Tidak tanggung-tanggung, lima belas orang memilih untuk menyerah dan tidak melanjutkan ke semester selanjutnya. Termasuk si manusia culas, Rama.
Semester satu memang cukup menguras otak dan tenaga serta menguji Iman dan kesabaran. Tapi selama kita mau terus mencoba, belajar dan memberikan yang terbaik, semua pasti bisa terlewati dengan hasil yang baik pula. Seperti kata JKT48 ‘Usaha keras itu tak akan mengkhianati’.
“Zi..Ziva..” panggil Neta gegap.
“Hmmm..” balasku ogah-ogahan karena sedang asik melihat Instagram.
“Itu Geva kan ya ?” tanya Neta sambil menepuk-nepuk lenganku.
“Baru sebulan lo nggak ketemu Geva dan sekarang lo lupa mukanya Geva kayak gimana ? Ya kali..” balasku masih melihat layar ponsel.
“Bukan itu oncom !” ketus Neta dan segera merampas ponselku.
“Apaan sih Net ?” balasku kesal.
“Arah jam tiga !” suruh Neta sambil menggerakkan bola matanya.
Aku mengangkat kepala dan pelan-pelan mengarahkan mataku mengikuti arahan Neta.
“Astaga naga kambing kuda ayam !” ucapku kaget.
“Nah kan. Kaget kan lo..” balas Neta.
“Itu Boboho gue kenapa jadi Lee-Min-Ho ?” sambungku tak percaya.
“Lebay ah !” kata Neta sambil mendorong pelan pundakku.
Sebelum libur semester, Geva memang sudah terlihat lebih kurus dibandingkan dengan pertama kali aku melihatnya. Tapi sekarang, setelah satu bulan lebih tidak melihatnya secara langsung, Geva benar-benar berubah. Badannya jauh lebih kurus, perut buncitnya sudah rata, pipi bolo-bolonya juga sudah tidak bolo-bolo lagi. Mata sipitnya yang mendukung, membuat Geva terlihat seperti oppa oppa Korea.
Kau gemuk saja aku sudah jatuh hati, apalagi kau kayak gini Bang Geva ? Tolonglah.
“Kalau cowok berubah drastis kayak gitu, biasanya karena pengen deketin cewek.” goda Neta.
Aku terbelalak dan menatap Neta sambil tersenyum lebar.
“Tapi kalau ceweknya bukan gue gimana ?” aku tiba-tiba pesimis.
Neta tersenyum sinis. “Derita anda.” kemudian mencolek daguku.
Aku memanyunkan bibir dan kemudian bersandar di kursi.
“Lagian lo pesimis banget sih. Kan malam itu gue sudah bilang, Geva itu suka sama lo. Kelihatan banget kali, kalau yang Geva lakuin ke lo itu ancang-ancang buat pendekatan.” lanjut Neta yang kembali membangkitkan senyumku.
“Ulang tahun lo kemarin dia ucapin kan ?” tambah Neta.
Aku mengangguk dengan sangat bersemangat. “Ucapin.”
“Setelah itu dia pernah nge-chat lo lagi nggak ? Basa-basi gitu ?” tanya Neta lagi.
“Sering. Hampir tiap hari.” jawabku lagi makin bersemangat.
“Kok lo nggak pernah cerita ke gue ?” balas Neta nyolot.
“Ya..Ya sorry. Keasikan nge-chat sama Geva. Jadi lupa ngabarin lo.” aku nyengir tak berdosa.
“Belum jadian aja sudah lupa sama sahabat sendiri.” balas Neta yang kini berbalik cemberut.
“Bukan gitu Neta… Jangan cemberut gitu ah. Cantiknya hilang lho.” bujukku sambil memegang tangan Neta.
“Jangan pegang-pegang. Bukan muhrim.” kata Neta yang langsung menarik tangannya.
“Apaan sih lo. Orang kita sama-sama cewek juga.” balasku sambil terkekeh.
“Awas ya lo sampai lupa apalagi sampai cuekin gue kalau sudah jadian sama dia.” ancam Neta menghadapkan telunjuknya di depan wajahku.
“Chill sis. Nggak akan. Dimana-mana sahabat itu lebih berharga daripada pacar.” balasku tersenyum sambil menaikturunkan alis