Makin naik semester, tingkat kesulitan mata kuliah pun akan semakin meningkat. Melihat nama-nama mata kuliah semester tiga saja aku sudah cukup pusing. Hanya satu penguatanku, kalau dua semester sebelumnya bisa dilewati, semester ini juga pasti bisa.
Ini adalah tahun pertamaku menjadi senior. Angkatan yang baru, baru saja masuk, dan enaknya, OSPEK tahun ini tidak separah tahun angkatanku kemarin. Tidak ada lagi OSPEK yang mengandung unsur perpeloncoan. Jujur aku senang, coba saja aku lahirnya ditunda setahun.
OSPEK memanglah menjadi sarana untuk mendidik dan melatih mental mahasiswa. Tapi tidak selamanya harus dengan cara perpeloncoan, karena terkadang, banyak senior yang justru memanfaatkan kesempatan untuk balas dendam dan berlaku seenaknya kepada junior. Cara yang lebih manusiawi tetapi tetap menerapkan dengan tegas perilaku dan norma yang baik, aku rasa lebih pantas diterapkan dalam OSPEK. Jangan melatih seseorang untuk menyapa dan senyum kepada orang lain karena takut, dan kesannya terlihat terpaksa. Tapi latihlah seseorang untuk menerapkan kewajiban berperilaku yang baik dan sopan. Maka senyum dan sapa akan muncul dengan tulus, karena kesadaran harus menghormati dan menghargai orang lain.
*****
Aku bersama teman-teman kelas menjalani praktikum pertama disemester tiga ini. Kami sangatlah bersemangat, karena hari ini kami akan belajar membuat salep.
Praktikum berjalan dengan sangat baik dan lancar. Aku dan teman-temanku begitu serius membuat salep masing-masing, dengan dibantu oleh beberapa asisten dosen.
Sampai pada akhirnya aku berhasil memecahkan keseriusan semua orang, karena tidak sengaja menyenggol gelas beker hingga pecah tak berdarah. Sontak, wajahku langsung memerah, semua mata langsung tertuju padaku. Kayaknya bakal viral untuk kedua kalinya nih setelah peristiwa copy paste laporan kemarin. Sial.
Aku menatap pecahan-pecahan gelas beker itu nanar. The end nih.
“Apa itu yang pecah ?” teriak Kak Anya, salah satu asisten dosen kami.
Mampus. Pecahin alat lab + Diterakin senior killer = Cobaan yang sempurna.
Aku pelan-pelan mengangkat tangan kananku. “Gelas beker Kak.” jawabku agak kencang, tapi tidak sekencang Kak Anya.
Kak Anya kemudian menghampiriku dan langsung bersedekap di hadapanku. “Kalau nggak bisa hati-hati, jangan jadi farmasis !” sindir Kak Anya dengan muka datarnya.
“Ma..Maaf Kak.” jawabku gegap dengan suara sedikit gemetar.
Kak Anya memang terkenal dengan sifatnya yang tegas cenderung galak. Tak ada satupun orang diangkatanku yang berani menatap wajah Kak Anya, sejak OSPEK kemarin bahkan sampai saat ini. Kalau sudah menghampiri junior dengan muka datar dan mata melototnya, habislah sudah. Untung hari ini aku PMS, jadi kalau kencing di celana, setidaknya tidak bocor.
“Apa yang pecah ?” tanya Kak Adriel yang tiba-tiba datang menghampiri aku dan Kak Anya.
“Ini nih si Ziva, mecahin gelas beker.” jawab Kak Anya terus menatapku sinis.
“Kenapa bisa pecah Ziv ?” tanya Kak Adriel dengan lembutnya.
“Maaf Kak. Tadi nggak sengaja kesenggol.” jawabku pelan.
“Berkali-kali dikasih tahu kalau masuk laboratorium itu harus hati-hati ! Jangan teledor ! Untung saja gelas bekernya kosong, kalau isinya bahan kimia berbahaya gimana ? Terus jatuh ke kaki kamu atau orang lain ?” kata Kak Anya memarahiku.
Aku diam dan merunduk. Aku tahu aku salah. Apa yang dibilang Kak Anya itu memang benar. Ini bukan permasalahan alat pecah, tapi masalah keselamatan dalam laboratorium.
“Sudah Nya sudah. Intinya kan dia nggak sengaja.” kata Kak Adriel menenangkan Kak Anya. “Kamu langsung beresin pecahan-pecahan ini ya ? Terus langsung lanjut kerja lagi. Ingat ! Hati-hati !” kata Kak Adriel kepadaku dengan tenangnya.
Aku mengangguk. “Iya Kak.”
“Sesuai prosedur kamu harus ganti gelas beker yang kamu pecahin ini. Harus sama persis. Original ! Bukan KW super !” kata Kak Anya penuh penekanan.
Aku mengangguk sekali lagi. “Baik Kak.”
Kalau prinsip supermarket itu pecah berarti membeli, maka prinsip laboratorium adalah pecah berarti mengganti. Untung saja yang aku pecahkan gelas beker. Coba kalau buret. Habislah uang jajanku sebulan.
*****
“Tumben lo makannya lahap banget ?” Neta menatapku heran.
“Abis dimarahin perut gue makin lapar.” balasku sambil mengunyah bakso. Kali ini menunya ganti dulu. Bosan juga makan bakmi tiap hari.
“Telan dulu ah Ziv baru ngomong ! Keselek baru rasa lo !” Neta memarahiku kemudian meminum es teh manisnya.
“Hmmm..” balasku.
“Eh lo tahu nggak ? Ternyata Kak Anya sama Kak Adriel itu pernah pacaran lho.” kata Neta memancing pergibahan.
Uhukkk..uhukkk...
Aku tersedak setelah mendengar perkataan Neta barusan.
“Kan, gue bilang juga apa. Makanya makan tuh pelan-pelan ! Kayak orang nggak makan seminggu aja lo. Minum minum !” suruh Neta sambil mendekatkan minum ke arahku.