Semester empat. Semester pertengahan. Setengah jalan lagi menjadi sarjana. Itu pun kalau tidak ada hambatan di tengah jalan.
Disemester ini kami mulai belajar bagaimana cara menelaah dan mengolah suatu bahan alam, yang punya potensi untuk dijadikan bahan aktif obat. Mulai dari mempelajari siklus tumbuh-tumbuhan, strukturnya, kandungan yang ada di dalamnya, dan proses kimia yang harus dilalui sampai akhirnya bisa diteliti. Prosesnya memang panjang. Tapi dari proses yang panjang itu, akan menghasilkan beberapa penemuan baru yang bisa sangat bermanfaat bagi banyak orang. Sama seperti cinta, harus melalui berbagai macam proses dan rintangan dulu, untuk bisa merasakan sebuah cinta yang berkualitas.
Karena sesuatu yang berkualitas, bermanfaat, dan tahan lama, tidak diperoleh secara instan. Tapi butuh proses.
Aku segera turun dari mobil dan berjalan memasuki lobi Fakultas. Siap untuk menjalani UTS hari pertama disemester ini.
“Pagi Ziva !” sapa Kak Adriel yang ternyata sedang duduk di lobi.
“Pagi Kak !” balasku sopan.
“Baru nyampe ?” tanya Kak Adriel.
“Iya nih ka.”
“Oh… Semangat ya ujian hari ini.” Kak Adriel menyeringai.
“Iya Kak. Makasih.” balasku tersenyum kikuk. “Aku duluan yah Kak.” lanjutku buru-buru.
“Oke oke.” Kak Adriel mengacungkan jempolnya.
*****
Biasanya sebelum ujian dimulai, semua mahasiswa jadi mendadak sok sibuk. Sibuk komat-kamit menghapal materi, sibuk sharing materi apa saja yang dipelajari, dan sibuk memperebutkan tempat duduk yang strategis.
Suasana kelas langsung menjadi tenang, ketika Prof. Abraham memasuki ruang kelas bersama dengan para pengikut di belakangnya. Siapa lagi kalau bukan mahasiswa semester akhir, yang akan membantu Prof. Abraham untuk mengawas ujian hari ini. Ada lima orang. Aku bilang juga apa, mau duduk diapit Albert Einstein sama Thomas Alva Edison sekalipun, kalau pengawasnya punya mata seribu, ujung-ujungnya buntu juga.
Sebelum ujian aku berdoa terlebih dahulu. Setelah membuka mata, aku kaget karena Kak Adriel, salah satu pengawas ujian hari ini, sudah berdiri di depanku sambil memegang lembaran kertas.
“Good luck.” kata Kak Adriel lalu meletakkan lembar soal dan lembar jawaban di mejaku.
Aku hanya membalasnya dengan senyum. Kenapa nggak langsung ditaruh di meja aja sih ? Nggak usah nunggu aku selesai berdoa juga kali.
Aku melirik ke arah Neta yang ada di sampingku. Dia sudah mulai senyum-senyum sendiri. Pikiran anak itu pasti sudah aneh-aneh.
Aku mengerjakan soal-soal yang mudah dan yang aku tahu jawabannya terlebih dahulu. Sisanya biarlah spekulasi dan keajaiban yang bekerja.
******
“Cieee…” ledek Neta sementara kami berjalan ke luar kelas.
Benar kan kataku. Bukan Neta namanya kalau tidak hobi meledek.
“Neta stop !” jawabku jutek.
“Good luck ya…” Neta menirukan intonasi dan ekspresi Kak Adriel tadi.
“Apa sih ah.” ketusku.
“Kayaknya…”
Aku cepat-cepat meletakkan jari telunjukku di depan bibir Neta. “Jangan kayaknya-kayaknya lagi ! Cukup !”
“Iya ampun-ampun.” Neta memanyunkan bibirnya.
Aku menekan tombol turun lift, kebetulan lift baru akan turun dari lantai empat. Ketika pintu terbuka, aku dan Neta sontak terdiam. Betapa terkejutnya kami ketika melihat Prof. Abraham dan Kak Adriel ada di dalam lift itu.
“Siang Prof…” sapaku dan Neta sopan.
“Iya siang. Masuk masuk.” Prof. Abraham mempersilahkan dengan ramahnya.
Aku dan Neta kemudian masuk dan mengambil tempat di belakang Prof. Abraham dan Kak Adriel. Mati kutu cuy. Mau napas pun nggak enak.
“Prof…Saya permisi ke toilet sebentar. Nanti habis itu saya langsung ke ruangan Prof. Abraham.” kata Kak Adriel ketika hendak keluar dari lift.
“Oh iya. Saya tunggu di ruangan ya Adriel.” balas Prof. Abraham.
“Baik Prof.” kata Kak Adriel.