“Gue harus jawab apa dong ? Arghhh…” teriakku frustasi sambil mengacak-acak rambut.
“Tenang dulu dong Ziv. Tarik napas…buang….tarik napas…buang…” respons Neta sambil men-contohkannya.
Setelah sampai rumah, aku menelpon Neta untuk segera datang ke rumahku. Aku benar-benar sangat butuh pencerahan dari peramal abal-abal, yang dengan kampretnya ramalannya itu terbukti.
“Sekarang gue tanya sama lo. Lo gimana sama Kak Adriel ?” tanya Neta setelah melihat aku tenang.
“Ya gimana. Ya gitu…” jawabku sambil menekuk bibir.
“Ya gimana ya gitu apa sih ? Yang jelas dong.” Neta gereget.
“Gue nggak tahu Net…” aku mencak-mencak.
“Lo suka nggak sama Kak Adriel ?” tanya Neta.
“Kalau ditanya suka sih ya suka Net. Gue nggak buta kali. Ngelihat cowok kalem, baik, ganteng sama pintar kayak gitu masa iya gue nggak suka ? ” jawabku.
“Terus masalahnya apa ?” balas Neta cepat.
“Suka sama cinta beda kan ya ?” aku menatap Neta sendu.
Mendengar itu, Neta langsung bersedekap dan menatapku penuh curiga. “Jangan bilang lo masih cinta sama Geva ?”
Aku mengangguk pelan.
“Astaga Tuhan…..” Neta mengucek-ngucek wajahnya.
“Gue masih susah lupain Geva Net.” aku memegang lengan Neta.
“Belasan tahun gue sahabatan sama lo, gue baru sadar kalau ternyata lo itu bego !” tukas Neta.
“Jahat…” aku cemberut.
“Gini ya Ziv. Lo coba deh berpikir jernih. Jelas-jelas ada cowok yang lebih baik dari Geva, yang suka sama lo. Terus lo masih aja bertahan sama cinta dalam hati plus bertepuk sebelah tangan, yang jelas-jelas nyakitin diri lo sendiri. Itu kalau bukan bego apa namanya ? Sontoloyo ?” kata Neta tak habis pikir.
“Net, gue bisa aja terima Kak Adriel, tapi kalau hati gue nggak di dia, sama aja kan gue jadikan dia pelarian doang ? Yang ada gue bukan sakitin diri gue sendiri lagi, tapi juga sakitin anak orang.”
“Kalau lo nggak mau coba buka hati lo buat cowok lain. Sampai kapan lo mau cinta sama Geva ? Lo mau Geva sudah punya cicit, sementara lo masih perawan sampai nenek-nenek karena nunggu Geva cinta juga sama lo ?”
“Neta ih ! Perkataan itu doa tau.” aku mendorong Neta pelan.
“Ya abis.” Neta kemudian pergi ke kasurku. “Kalau lo nggak tega jadikan Kak Adriel pelarian, kenapa lo nggak coba jadikan Kak Adriel orang yang tetap di hati lo ?” lanjutnya sambil memangku bantal.
“Kalau gue coba terus nggak bisa gimana ? Putus ?” aku bertanya dengan tanpa berdosanya.
“Etdah, lo pikir putusin pacar segampang putusin kabel listrik apa ? Coba dulu lah. Belum apa-apa sudah mikirin putus aja. Lagian ya, selama ini kan lo susah lupain Geva karena belum ada cowok lain yang berusaha masuk di hati lo. Nah sekarang ada Kak Adriel. Waktunya deh tuh lo usir Geva jauh-jauh dari hati lo, dan biarin Kak Adriel yang ganti posisi dia.” balas Neta.
“Tapi Net…”
“Tapi apa lagi sih Ziv ?” potong Neta cepat.