Seperti biasa Kak Adriel orangnya sangat on time. Janjian jam lima, jam lima pas dia pasti sudah ada di tempat. Sementara aku malah ketiduran dan akhirnya ngaret setengah jam. Sudah aku yang ngajak ketemuan, terus telat lagi. Malu banget sumpah.
“Kak sorry banget yah, sorry... banget. Aku ketiduran.” kataku lalu buru-buru menarik kursi di depan Kak Adriel.
“Nggak apa-apa kok Ziv. Aku juga belum lama.” balas Kak Adriel tersenyum dan tidak terlihat badmood atau marah sama sekali.
Ini orang kok sabar banget ya ? Dua kali aku janjian sama dia, dua kali juga aku ngaret. Jadi tambah malu deh.
Aku kemudian mengangkat tangan ke Mas Ezra, barista kedai kopi ini, kebetulan kami duduk sangat dekat dengan bar. “Mas, biasa ya, Matcha latte less sugar.”
“Siap Ziv. Bentar ya.” balas Mas Ezra.
“Kamu kenal sama baristanya ?” tanya Kak Adriel heran.
“Iya. Mas Ezra itu bukan barista biasa. Tapi dia juga owner kedai kopi ini. Kebetulan dia Kakaknya teman SMA aku.” jawabku.
“Oh gitu, berarti kamu sudah sering banget dong nongkrong di sini ?” Kak Adriel menyeringai.
“Bukan sering lagi. Tapi ini sudah jadi kayak basecamp.” aku tertawa pelan.
“Matcha latte less sugar untuk nona cantik Ziva.” kata Mas Ezra sambil meletakkan minumanku di atas meja.
“Wahh…Makasih Mas. Ester nggak ke sini Mas ?” tanyaku.
“Enggak. Katanya dia lagi banyak tugas kuliah. Jadi belum bisa bantuin gue di sini.” balas Mas Ezra begitu ramahnya.
“Kalau gitu aku titip ini ya Mas buat Ester.” kataku sambil memberi buku yang aku pinjam dari Ester kepada Mas Ezra.
“Oke…” balas Mas Ezra.
“Oh ya Mas, kenalin ini teman aku. Senior aku sih lebih tepatnya.”
“Hai. Ezra.” kata Mas Ezra sambil mengulurkan tangannya.
Kak Adriel pun berdiri dari tempat duduknya dan menyalami tangan Mas Ezra. “Halo Mas. Adriel.”
“Ehem ehem nih ?” ledek Mas Ezra kepadaku sambil menaik turunkan alisnya.
“Apa sih Mas.” aku mendadak jadi malu.
Mas Ezra kemudian terkekeh. “Ya udah kalau gitu gue tinggal yah ? Enjoy…” kata Mas Ezra menepuk pundak Kak Adriel.
“Maaf ya Kak. Mas Ezra memang orangnya gitu. Sebelas duabelas sama Neta. Hobinya ngeledek.” kataku kepada Kak Adriel, setelah Kak Adriel kembali duduk di kursinya.
“Iya nggak apa-apa kok.” balas Kak Adriel lalu menyeruput caramel macchiato pesanannya. “Jadi mau omongin apa Ziv ?” tanya Kak Adriel begitu antusias.
Aduh jangan-jangan dia pikir aku mau jawab pertanyaan dia kemarin lagi. Semangat banget gitu.
“Kak Adriel pernah pacaran sama Kak Anya kan ?” tanyaku sangat to the point. Bodo amat sama basa-basi dulu.
“Iya pernah.” jawab Kak Adriel dengan tingkat antusias yang sedikit menurun.
Tuh kan benar. Antusiasnya langsung menurun pas aku angkat topik lain. Jadi nggak enak nih sama anak orang.
“Kalau Kak Adriel nggak keberatan, aku bisa tanya sesuatu tentang hubungan kalian dulu nggak ?” aku bertanya dengan sangat hati-hati. “Tapi kalau nggak boleh juga nggak apa-apa kok.” sambungku cepat.
“Boleh kok.” jawab Kak Adriel lembut. “Aku siap jawab semua pertanyaan kamu.” lanjutnya tersenyum.
“Jujur ya Kak. Kak Adriel sama Kak Anya putusnya karena apa ?” sesi klarifikasi dimulai.