“Net gue mendadak mules nih. Nggak usah ya ?” aku menahan lengan Neta ketika kami baru akan keluar dari lift.
“Janji adalah hutang Ziv. Ayo ah. Sudah gue temenin juga.” Neta menarik paksa lenganku.
Dengan langkah yang sangat berat, aku pun berjalan menuju ruang sidang bersama Neta. Tapi ketika kami hendak berbelok ke ruang sidang, dari jauh aku melihat segerombol senior yang sedang duduk menghibur dan menyemangati Kak Adriel. Kak Anya, dia juga ada di sana.
“Neta….” aku cepat-cepat menarik lengan Neta dan bersembunyi di balik tembok.
“Kenapa Ziv ?”
“Lo lihat dong itu senior banyak banget. Kalau kita ke sana otomatis kita langsung jadi pusat perhatian tau. Balik aja yuk ?” aku memelas kepada Neta.
“Lo tega kecewain Kak Adriel ? Sudah lo gantungin perasaannya kayak jemuran, terus sekarang lo mau ingkar janji juga ?” Neta berusaha membujukku.
“Nggak tega sih. Tapi memangnya lo berani ke sana ?”
“Berani…” jawab Neta lantang.
“Kalau gitu lo aja yang kesana. Sampaikan salam gue buat Kak Adriel. Gue tunggu di sini aja.” aku tersenyum begitu manis.
“Gimana sih lo ? Kan yang ditunggu Kak Adriel itu elo bukan gue. Lagian salam itu nggak cukup. Raga lo yang dia pengen !”
“Makanya balik aja yuk. Nanti gue jelasin deh ke Kak Adriel. Nyali gue langsung ciut nih, apalagi ada Kak Anya. Lo tahu sendiri kan tatapan sinisnya merasuk sampai hati ?”
Neta mendesah. “Ya udah deh terserah lo.”
“Nah gitu dong, yuk.” aku cepat-cepat menarik tangan Neta dan kembali ke lift.
*****
Setelah berhasil lari dari kenyataan, aku dan Neta pergi ke kedai kopi Mas Ezra. Sepanjang perjalanan dari kampus bahkan sampai duduk di kedai kopi, Neta tiada hentinya menyerocos.
Aku tahu aku salah. Makanya aku terima-terima saja diceramahi Neta.
“Harusnya tadi itu lo nunjukin batang hidung lo walaupun cuman sebentar. Seengaknya Kak Adriel itu tahu kalau lo datang.” kata Neta.
“Terlanjur takut mau gimana lagi Net. Gue nggak se-berani lo.” aku kemudian mengaduk hot chocolate.
“Terus lo sudah kasih tahu Kak Adriel kalau lo nggak jadi datang ?” tanya Neta.
Aku menggeleng. “Belum. Nanti aja.” lalu aku meminum hot chocolate.
Neta kemudian melipat kedua tangannya di atas meja, dan agak memiringkan sedikit kepalanya. “Lo tuh sebenarnya mau kasih Kak Adriel kesempatan nggak sih ?”
Aku meletakkan kembali gelas yang aku pegang, dan mengangkat kedua pundakku tanda bingung. “Kayaknya gue bakal nolak dia deh.”
Neta hanya bisa menatapku tak percaya lalu bersandar di kursi.
“Belum jadian aja gue sudah banyak dosa sama dia. Gue takut bakal terus-terusan sakitin dia kalau kita jadian nanti .” lanjutku sambil memutar-mutar sendok di gelas.
“Kalau itu keputusan lo ya gue bisa apa.” Neta menghembuskan napas panjang dan kemudian menaruh tangannya di atas tanganku. “Selama ini gue sama sekali nggak bermaksud buat maksa lo. Tapi gue cuman pengen yang terbaik buat lo Ziv. Dan kalau menurut lo ini memang yang terbaik, gue dukung kok Ziv. Berarti ya Kak Adriel bukan orangnya.” Neta tersenyum.
“Thanks ya Net.” aku kemudian memegang tangan Neta. “Dia terlalu baik buat gue Net.” lanjutku.
Kak Adriel memang terlalu baik untukku. Terlalu baik untuk terus-terusan aku gantung dan aku sakiti perasaannya. Aku berusaha membuka hatiku untuknya, tapi sulit, masih ada Geva di dalam hatiku. Percuma kalau ragaku bersamanya, tapi hatiku tidak. Dua-duanya pasti akan merasakan sakit.
Adriel : Kamu dimana Ziv ?
“Kak Adriel nih nanya gue dimana. Apa gue suruh ke sini aja ya ? Sekaligus gue jujur sama dia.” kataku sambil menatap layar ponsel.
“Lebih cepat jujur lebih baik Ziv.” balas Neta.
Ziva : Di kedai kopi kemarin nih. Ujiannya sudah selesai ?
Adriel : Baru aja selesai. Ini lagi foto-foto sama teman-teman.
Ziva : Oh… Kalau selebrasinya sudah selesai, bisa nyusul ke sini ?
Adriel : Oke. Lima belas menit lagi aku ke sana.
Kalau ada penghargaan manusia paling tega tahun ini, mungkin aku akan memenangkan penghargaan itu. Disaat Kak Adriel sedang berbahagia karena gelar sarjana yang baru saja diraihnya, aku malah ingin mematahkan hatinya dengan jawabanku. Tapi mau bagaimana lagi ? Aku tidak bisa terus mengulur-ulur waktu. Aku siap jika habis ini Kak Adriel akan membenci atau tidak mau melihat wajahku lagi.
“Dia mau ke sini ?” tanya Neta.
“Iya,”
“Kalau gitu gue pulang duluan ya ? Gue nggak sanggup lihat orang yang baru aja sarjana, tapi dihari yang sama cintanya juga ditolak. Nanti gue malah mewek di sini lagi.” kata Neta.
“Terus lo pulang naik apa dong ?”
“Gampang. Gue tinggal cari taksi aja di depan.” Neta memasukkan ponselnya ke dalam tas.