Pharmaceutical Love

Shinta Jolanda Moniaga
Chapter #25

An Enemy is Born

Semester lima. Makin ke sini aku semakin belajar banyak tentang dunia Farmasi. Farmasi tidak hanya berbicara tentang bagaimana cara membuat obat. Karena sebagai Farmasis, pekerjaan kami bukan hanya sekedar “Tukang Obat” seperti kata orang kebanyakan. Kami juga belajar tentang kosmetik, menganalisis makanan, bagaimana me-manage dan memimpin sebuah apotek, proses produksi obat di pabrik bahkan sampai pendistribusiannya ke apotek hingga sampai ke tangan pasien.

Dunia Farmasi itu luas. Sama seperti cinta. Cinta bukan hanya berhubungan dengan pasangan hidup, tapi juga dengan keluarga, orang tua, sahabat, teman bahkan musuh. Cinta juga tidak melulu berbicara soal kebahagiaan, tapi juga soal air mata dan perjuangan. Dari cinta, kita bukan hanya belajar untuk saling mengasihi, tapi juga saling memaafkan.

Tidak terasa hubunganku dengan Kak Adriel sudah berjalan hampir lima bulan. Awal-awal jujur aku merasa kosong dan jenuh. Tapi karena kesabaran dan kegigihan Kak Adriel, aku pelan-pelan sudah mulai menaruh hati padanya dan melupakan Geva. Benar kata Kak Adriel dan Neta, kita tidak akan pernah tahu kalau kita tidak pernah berani untuk mencoba. Seandainya waktu itu aku tidak memberikan Kak Adriel kesempatan, mungkin sampai sekarang aku masih tersiksa dengan perasaan cinta dalam hati yang tak berbalas.

“Kang Adriel hari ini jemput Neng Ziva lagi ya ?” ledek Neta sambil memasukkan buku catatannya ke dalam tas.

“Apaan sih lo. Alay deh !” balasku tertawa pelan lalu geleng-geleng.

Setelah lulus, Kak Adriel langsung melanjutkan sekolah profesi apoteker di Universitas yang sama. Hanya gedungnya saja yang beda dengan mahasiswa S1.

Kebiasaan kami setiap malam adalah mencocokan jadwal kuliah, kalau dia selesai lebih cepat dariku, maka aku tidak perlu membawa mobil. Tapi kalau aku selesai lebih cepat, aku kembali menyetir sendiri.

“Lo di jemput Hans kan ?” tanyaku kepada Neta.

“Iya nih, tapi dia belum datang. Lo duluan aja, kasihan Kak Adriel sudah nungguin lo lama. Nanti anak orang lumutan lagi.” balas Neta.

“Masa gue ninggalin lo sendiri sih ?” balasku.

“Sudah nggak apa-apa. Gue tunggu di sini aja. Lagian Stella and the geng juga belum pulang, gue nimbrung gosip aja sama mereka.” kata Neta sambil melirik ke arah Stella dan teman-temannya yang sudah duduk membentuk lingkaran.

Aku terkekeh. “Awas ya nanti lo gosipin gue.”

Little-little boleh lah ya.” balas Neta sambil mencolek daguku.

“Dasar lo ! Ya udah gue turun duluan ya. Bye…”

*****

“Capek ya ?” tanya Kak Adriel setelah melihatku langsung bersandar di jok mobil.

“Iya nih. Kuliah dari pagi non stop ditambah lagi ada dua praktikum. Gini amat ya perjuangan biar bisa pakai toga ?” curhatku.

Kak Adriel tertawa mendengar ucapanku dan kemudian menggerakkan tangannya mengusap puncak kepalaku. “Semangat…”

“Terus kamu gimana kuliahnya ?” tanyaku.

“Puji Tuhan lancar kok.” balas Kak Adriel sambil tersenyum kepadaku. “Kamu mau makan apa ?”

“Sushi aja gimana ?” aku memberikan ide.

“Boleh. Di tempat sushi biasa ?”

“Iya disitu aja. Kalau ke tempat lain harus melewati medan macet yang cukup panjang. Perut aku sudah konser nih.” kataku nyengir.

“Tadi aku sengaja mampir beli roti sebelum jemput kamu. Kamu terakhir makan pas sarapan kan ? Ini sudah jam lima lho, kamu makan itu aja dulu buat nge-ganjel. Aku taruh di belakang.” balas Kak Adriel.

Kan ? Gimana nggak bisa cepat-cepat luluh coba ? Perhatian banget gini.

*****

Dengan handuk yang masih membungkus rambutku, aku cepat-cepat mengambil dan memeriksa ponsel yang terus berbunyi sejak aku keluar dari kamar mandi.

Neta         : Ziva !!!

Lihat selengkapnya