Setelah kejadian itu, aku mendadak jadi terkenal lagi. Teman-teman satu angkatanku sebenarnya tidak memperdulikan hal itu, mereka justru simpati dan mendukung aku. Mereka tahu siapa aku, mereka tahu bagaimana karakterku dan mereka tahu aku tidak seperti yang dituduhkan oleh Kak Anya. Bagi mereka, sekalipun ada yang harus disalahkan, itu adalah Kak Adriel. Bukan aku.
Tapi pandangan itu tidak berlaku untuk para senior, terlebih khusus teman-teman satu angkatan Kak Anya dan Kak Adriel yang masih tersisa di gedung mahasiswa S1. Mereka menatapku sinis, bahkan hampir juling. Aku tetap bersikap biasa, aku menyapa dan memberikan senyum jika berpapasan dengan mereka, tapi mereka malah menganggap aku angin lalu. Sakit rasanya.
Hubungan aku dan Kak Adriel pun juga ikut terganggu. Aku seperti merasa dibohongi. Bilangnya masalah sudah selesai, tapi ternyata belum dan bahkan menjadi lebih rumit. Jujur aku benci. Benci dengan diriku sendiri. Benci dengan Kak Adriel. Benci dengan Kak Anya yang telah merusak nama baikku.
“Tadi Kak Adriel telpon gue. Katanya tolong sampaikan ke lo, kalau sebentar malam dia mau ketemu. Penting.” kata Neta kepadaku di perpustakaan.
“Bilang aja hari ini lo nggak masuk kampus.” balasku sambil membuka lembaran-lembaran buku.
“Bohong dosa tahu !” kata Neta.
“Gue yang tanggung dosa lo !” balasku sambil menongka kepalaku dengan tangan dan membaca buku.
Aku sengaja meminta Kak Adriel untuk jangan menghubungiku dulu sebelum masalah ini selesai. Kira-kira sudah hampir satu minggu. Egois ? Iya. Tapi aku rasa ini adalah jalan yang terbaik untuk saat ini. Aku takut rasa benciku akan lebih besar dari rasa sayang yang telah berusaha aku tumbuhkan untuk Kak Adriel, jika aku terus bertemu dengannya. Aku perlu waktu untuk sendiri, sambil memikirkan jalan keluar untuk masalah ini.
“Menghindar nggak akan menyelesaikan masalah lo Ziv !” Neta menutup buku yang sedang kubaca dengan paksa.
“Gue nggak percaya lagi sama dia Net. Dia sudah nggak jujur sama gue. Coba kalau dari awal dia jujur. Semua pasti nggak akan kayak gini. Gue Net…Gue yang malu.” balasku lalu bersandar kesal.
“Berarti dalam hal ini lo lebih percaya sama omongannya Kak Anya ?” Neta mengangkat satu alisnya.
Aku terdiam.
“Ziv. Lo itu belum tahu pasti siapa yang salah dan yang benar. Mana yang ngarang cerita dan mana yang jujur. Lo nggak bisa gampang terpengaruh kayak gini dong Ziv.” lanjut Neta.
“Jadi apa yang harus gue lakuin Net ?” balasku sambil meremas kepalaku.
“Lo pasti sudah berdoa kan ? Minta Tuhan untuk menunjukkan kebenaran dan jalan keluar untuk semua masalah lo ini. Nah, selanjutnya yang perlu lo lakukan, lo harus berikan Kak Adriel kesempatan untuk ngejelasin semuanya. Bukan malah tiba-tiba lo putusin kontak kayak gini.” jawab Neta.
“Terus soal Kak Anya ?”
“Soal Kak Anya gampang. Pokoknya yang harus lo lakukan sekarang, ketemu dulu sama Kak Adriel. Ngobrol baik-baik. Kalau kepala lo masih panas, dinginin dulu gih di freezer. Pokoknya lo harus ngomong dengan kepala dingin. Biar lo nanti nggak gegabah ambil keputusannya.” balas Neta.
Aku kemudian menyipitkan mataku dan menatap Neta penuh curiga. Kata-kata Neta barusan ‘Soal Kak Anya gampang’ seperti mengisyaratkan sesuatu.
“Lo lagi merencanakan sesuatu ya ?” tanyaku sambil bersedekap.
“Eggak. Curigaan banget sih lo sama gue.” Neta menjawab dengan sangat santai.
“Beneran ?”
“Iya Ziv….”
“Ya udah deh. Kak Adriel mau ketemu gue di mana katanya ?”
“Di kedai kopi Mas Ezra katanya. Biar lo juga lebih tenang di sana.”
*****
Aku sampai lebih dulu dari Kak Adriel. Kali ini aku on time. Giliran lagi ada masalah aja, datangnya tepat waktu, kalau lagi aman-aman selalu ngaret. Apa harus ada masalah dulu baru bisa belajar menghargai waktu ?
Tidak selang berapa menit setelah aku duduk, aku melihat Kak Adriel membuka pintu masuk dan melangkahkan kakinya memasuki kedai kopi…..