Sekarang waktunya memasuki episode terakhir dalam drama perkuliahan. Semester delapan. Semester dimana praktikum dan laporan hanyalah tinggal kenangan. Semester dimana aku bersama teman-teman angkatanku, tidak lagi belajar dalam satu ruangan yang sama, tapi sibuk dengan penelitian kami masing-masing. Semester dimana hanya ada satu mata kuliah yang sangat menentukan hidup dan mati. SKRIPSI.
Setelah menjadi pengunjung tetap laboratorium mikrobiologi dari pagi, siang bahkan hingga malam. Akhirnya penelitianku selesai juga. Lebih tepatnya penelitianku yang telah aku ulang tiga kali, karena dua sebelumnya gagal. Bukan penelitian namanya kalau tidak pernah gagal.
Langkah berikutnya sebelum sidang adalah seminar hasil penelitian. Ketika penelitianku selesai, maka aku harus terlebih dahulu ujian untuk memaparkan hasil penelitianku. Ini juga adalah momen yang tak kalah menegangkan, karena ini adalah penentu akhir sebelum aku sidang. Kalau hasil penelitian diterima oleh dosen pembimbing dan penguji, syukur Puji Tuhan. Tapi kalau tidak, silahkan kembali lagi ke laboratotium dan mengulang penelitian. Sarjana tidak semudah membalikkan telapak tangan Marimar !
Akhirnya setelah melewati serangkaian proses panjang, aku sampai pada tahap terakhir untuk segera mengakhiri perjuanganku ini. Sidang Skripsi.
“Net. Kok gue mual banget ya ? Pengen muntah tahu nggak.” kataku sambil memegang perut.
“Kebiasaan deh lo kalau gugup suka gitu. Senderan dulu gih beberapa menit, mumpung lo belum dipanggil masuk.” kata Neta sambil mengipasiku dengan kertas.
Aku mengikuti saran Neta. Aku menyenderkan kepalaku di dinding sambil memejamkan mata beberapa saat. “Kalau gue di dalam nggak bisa jawab gimana ya ? Langsung nggak lulus apa gimana ?”
“Hus. Nggak boleh ngomong gitu ah !” Neta mendorongku pelan.
“Jantung gue kok makin berdegup kencang yah ?” aku bertanya kepada Neta sambil memegangi dadaku.
“Santai Ziv... Kalau lo terlalu gugup, yang ada semua yang sudah lo pelajarin itu semuanya menguap.” Neta berusaha menenangkanku sambil mengelus-elus pundakku.
Saat ini Neta memang sangat jago menenangkanku, karena jadwal dia untuk ujian sidang masih minggu depan. Kita lihat saja nanti, minggu depan posisi pasti akan terbalik. Neta yang gugup, aku yang menenangkan dia. Pasti.
“Eh eh…Ibu Griselda jalan ke sini.” Neta menyinggungku dengan sikutnya pelan.
“Sudah siap Ziva ?” tanya Ibu Griselda.
“Sudah Bu.” jawabku agak gemetaran.
Pengen jawab belum siap percuma juga. Siap nggak siap tetap harus masuk.
“Ya sudah kalau begitu tepat jam sepuluh kamu langsung masuk ke ruang sidang.” kata Ibu Griselda.
“Siap Bu.” aku makin deg-degan.
Ibu Griselda kemudian segera berjalan kembali ke ruang sidang.
“Tuh supporter lo pada datang.” Neta menunjuk ke arah segerombolan teman-teman dekatku di kelas, yang sedang datang menghampiri kami.
“ZIVA !!!!!” kata Alex dengan suara khas toanya. “Sadis…Bentar lagi sarjana dong lo ?” Alex memegang pundakku.
“Amin…Doain yah.” balasku.