Phenomenal child

nymos
Chapter #3

Pertemuan

Langit koridor bawah tanah PTM masih lembap dan beraroma besi berkarat. Lampu-lampu redup berkedip pelan saat satu sosok melangkah perlahan, diiringi dua petugas bersenjata berat di belakangnya.

Raze Alden- Ruang 3

Dengan senyum aneh yang masih melekat di wajahnya, bocah berambut merah kusut itu menatap pintu besar di ujung lorong — bertuliskan “ARENA DUEL - FINAL STAGE LEVEL 2.”

Ruang duel adalah sebuah kubah kaca transparan setebal 40cm, berbentuk melingkar sempurna dan dikelilingi panggung observasi. Di luar, para petinggi dan tim evaluasi menyaksikan segala aksi tanpa suara. Tapi di dalamnya... adalah arena mutlak.

Tidak ada pintu keluar. Tidak ada intervensi. Hanya dua subjek, satu senjata acak, dan satu tujuan: bertahan hidup.

“Heh... akhirnya giliranku,” bisik Raze, menggoyangkan bahunya seperti pemanasan. “Semoga lawanku cukup menarik.”


Ruang 6 – Kai Velmont

Bau mesiu dan debu memenuhi udara. Mayat berserakan di tanah dengan luka tembak presisi. Di tengah arena, berdiri seorang anak laki-laki berambut hitam, pakaian compang-camping namun wajahnya tetap tenang.

Kai memutar pistol di jarinya, menatap satu-satunya lawan yang tersisa — seorang bocah dengan pisau berlumur darah.

“Kau pikir sudah memenangkan permainan?”

“Aku bertahan! Kau cuma pengecut yang bersembunyi!” teriak bocah itu.

“Bersembunyi? Aku hanya memberi kalian kesempatan untuk saling bunuh. Terima kasih sudah menyelesaikan separuh pekerjaanku.”

Bocah itu meraung dan berlari maju. Kai tersenyum tipis, lalu menghindar ke samping dan menembak lutut, lalu kepala.

“Sayang sekali. Aku bahkan belum berkeringat.”

Dia menatap kamera dan menunduk seolah memberi hormat.

“Kalian bisa beri lawan yang lebih pintar lain kali?”


Ruang 9 – Zeid Roren

Jeritan mengisi udara. Di sudut arena yang gelap, Zeid meringkuk, tubuhnya gemetar. Dua anak menghampirinya perlahan.

“Dia pengecut. Bunuh saja,” bisik yang satu.

“Tak berguna,” kata yang lain.

Saat pisau hendak menghujam, Zeid menoleh. Senyum bengkok terpampang di wajahnya.

“Aku sudah bilang... jangan dekat-dekat!”

Dengan kecepatan mengejutkan, Zeid mencengkeram lengan lawan, menggigit telinga hingga robek. Darah muncrat. Lawan kedua hendak kabur, tapi Zeid melompat ke arahnya.

“JANGAN PERGI! BELUM SELESAI!”

Zeid merobohkan bocah itu, menindihnya, lalu... menggigit lehernya dalam-dalam.

Lihat selengkapnya