Ruang Sistem Observasi - Markas PTM
Suara derit kursi dan ketukan sepatu bergema di ruang observasi yang dipenuhi layar besar. Di balik kaca tebal, wajah-wajah petinggi PTM terlihat serius, beberapa tampak antusias, sebagian lagi penuh keraguan.
Indra duduk bersandar di kursinya, rokok menyala di jari, matanya menatap tajam ke layar utama. Di sampingnya, Brigitta berdiri dengan kedua tangan di belakang punggung, ekspresi datarnya menyembunyikan ketajaman analisis di balik matanya. Elvano menyeringai kecil, seolah tahu sesuatu yang orang lain tidak tahu.
"Duel terakhir," gumam Indra pelan, asap rokok mengepul ke udara. "Anak kecil melawan gadis manipulatif. Kalian pikir siapa yang keluar hidup-hidup?"
Brigitta tidak menjawab, matanya tetap fokus ke layar. Elvano terkekeh kecil, nada suaranya seperti racun.
"Bukan soal siapa yang hidup," kata Elvano santai. "Tapi soal siapa yang bakal kita waspadai di Level 3 nanti."
Suasana ruang observasi menegang seiring pintu besar arena duel terakhir terbuka perlahan.
Arena Duel Khusus - Alexander vs Lynette
Lampu redup menerangi ruangan sempit berdinding beton retak. Bau darah, mesiu, dan kematian memenuhi udara. Arena lebih kecil dari biasanya, seolah-olah disengaja untuk membuat para petarung terjebak dalam perang psikologis.
Alexander Viero melangkah masuk lebih dulu. Tubuh kecilnya yang berlumur bekas darah lawan sebelumnya tampak tak terusik. Mata datarnya kosong, wajah tanpa ekspresi. Semua mata di ruang observasi memandang bocah enam tahun itu.
Tak lama, langkah kaki kedua terdengar. Lynette Verda, gadis sebelas tahun berambut pirang dengan gaya kuncir kuda, masuk ke arena. Tatapannya licik, senyuman sinis menghiasi wajahnya.
"Lucu juga," ucap Lynette sambil melirik Alexander dari ujung kaki hingga kepala. "PTM benar-benar kehabisan stok sampai nyuruh bocah TK kayak kamu buat lawan aku?"