Langit mulai menunjukkan malamnya. Jam dinding berdetak pelan namun pasti, setiap detik menekankan bahwa malam semakin menggelapkan dunia di luar. Dengan cepat, aku keluar dari apartemen dan menuju restoran Myanmar yang berada di sudut jalan Phetchaburi 17, tepat satu gang di sebelah kediamanku. Tempat ini bukan sekadar restoran bagiku, melainkan tempat kenangan saat aku sengaja mengatur pertemuan dengan crush-ku untuk kedua kalinya, karena restoran ini adalah tempatnya bekerja sebagai pelayan.
Suasana restoran yang agak sepi, kini membuatku mengenang kembali pertemuan itu. Dimana aku datang untuk makan malam bersama sahabat-sahabatku di restoran ini. Namun, ada satu alasan tersembunyi yang lebih menguatkan langkahku. Dia, sosok yang selalu mengusik pikiranku, entah bagaimana caranya, selalu berhasil menarik perhatian dan menutupi luka hati yang masih basah kala itu.
Aku sedikit gugup ketika dia berinteraksi denganku juga teman-temanku. Suasana di restoran kecil yang kami datangi ini sangat ramai, dengan suara tawa dan obrolan yang tumpang tindih. Aroma masakan khas Myanmar yang menggugah selera memenuhi udara, tetapi hati ini malah terasa berdebar setiap kali mataku menangkap sosoknya.
“Are you okay?” Tanyanya, saat aku dan teman-temanku hendak segera membayar bill.
Suara husky-nya membuatku menjadi kaku dan salah tingkah. Aku yang saat itu tidak mengerti apa yang ia tanyakan, hanya berlindung dibalik El untuk menutupi kegugupanku, ketika melihat ketampanannya dari dekat. Sungguh, aku tidak kuasa menahan diriku sendiri saat hendak berinteraksi dengannya.
“We are okay. Your foods is yummy, like an indonesian foods,” jawab Bella dengan inggrisnya yang pas-pasan dan bercampur logat sunda. Sepertinya Bella tau bahwa laki-laki itu terlihat khawatir saat melihat kami menyantap hidangan yang ada, karena sebenarnya beberapa dari kami ada yang tidak suka dengan signature dish-nya hingga memperlihatkan ekspresi yang kurang enak dilihat.
“Really?!” Sikapnya tampak antusias, seolah senang mendengar pujian itu.
Dia menatap kami dengan tatapan yang membuat perutku bergetar—kombinasi antara ketertarikan dan ketulusan yang sulit dijelaskan.
“Yes. We will come back again next time,” Bella kembali meyakinkannya.
Aku yang saat itu memegang cash pun segera mengeluarkan selembar uang Baht senilai kurang lebih lima ratus ribu rupiah, lalu kuberikan kepada pria itu. Dia pun memberiku kembalian seraya tersenyum, seakan menertawakan tingkahku yang sedaritadi tidak tenang saat berada di dekatnya.
“Thank you,” ucapnya dengan nada yang hangat dan dengan senyum yang tampak begitu tulus. Saat itu, aku merasa semua kegugupan ini seolah hilang seketika, tergantikan dengan rasa senang yang tidak terduga.
Aku segera menyudahi lamunan.
Suara denting gelas dan tawa pengunjung restoran semakin menyusut seiring berlalunya waktu. Jarum jam terus berputar, tapi aku tetap tertegun di tempat. Tanpa sadar, aku mulai menidurkan kepalaku diatas meja yang baru saja selesai dibersihkan. Aku masih menunggu kehadirannya, hingga restoran tutup.