Philogynik

Suyat Aslah
Chapter #2

BAB 1

Tak banyak yang berubah. Jalanan yang pernah dilewatinya dulu tetap terasa sama. Meski sudah empat tahun lamanya, seakan tak ada kesan sama sekali. Ban mobil yang menggerus kerikil terdengar hingga ke telinganya. Matanya sibuk mengedarkan pandangan, barangkali ada sesuatu yang istimewa untuk dia pandang, tidak melulu pemandangan rumah-rumah dengan tali jemuran yang silang sengkarut, atau sebuah rumah mewah yang berada di antara deretan rumah kusam yang pudar termakan waktu. Itu pemandangan sudah biasa. Akhir-akhir ini dia ingin memandang dan memahami dunia dengan obyek yang berbeda. Seseorang lebih tepatnya. Tapi jika tempatnya sebelantara ini, dia membuang pikiran itu sementara.

Sesekali memelankan mobilnya, karena ada banyak lubang-lubang yang bisa saja menghentakkan mobilnya tiba-tiba. Sebenarnya ada jalan raya besar dua arah yang masih bisa dilewati meski dalam perbaikan. Namun perlu menunggu giliran jalan dari petugas yang mengatur lalu-lintas. Hingga membentuk antrian lumayan panjang yang membuatnya diam dalam waktu yang lama. Sementara jalan yang dilewatinya sekarang adalah jalan di semenanjung yang tenang. Lebih dekat dengan sepi namun cukup lebar, bisa bersimpangan antara dua mobil.

Tak ada rumah yang didirikan di sini selain rumah hewan-hewan liar. Sudah tiga kilometer berjalan, belum menemukan rumah satu pun. Banyak pepohonan yang berhimpit rapat. Entah kapan terakhir kali tersentuh pembangunan infrastruktur jalan, bahkan masih berbentuk tanah dan kerikil. Dalam benaknya terlintas kembali peristiwa beberapa saat lalu di Hotel Daisy. Prosesi pernikahan temannya yang digelar tergolong mewah untuk ukuran warga kota tempat tinggalnya. Hingga membuat jalan di depan hotel macet oleh mobil para tamu undangan. Lalu tiba-tiba dia memikirkan pernikahannya kelak.

“Kapan giliranmu, Res?” pertanyaan itu dilontarkan temannya saat acara. Ada sejenis kegamangan jiwa untuk menjawabinya. Bahkan masih tersisa trauma karena kehilangan Ibunya selamanya, tepat di hari pernikahan Ibunya yang kedua kali.

Saat angannya makin melayang, mobilnya bertingkah aneh. Jalannya tersendat-sendat lalu mobil mati sepenuhnya. Saat mencoba menyalakan lagi, hanya terdengar suara seperti ringkikan seekor kuda.

“Sial!” Resti menghantamkan telapak tangannya pada roda kemudi. Lalu turun dari mobil dan menutup pintu dengan keras. Mendung tinggal menunggu tumpahnya. Dentuman petir terdengar dari jauh. Kesalahan baginya adalah terjebak sendirian di jalan tanah sesepi ini. Orang yang lewat jalan ini adalah sesuatu yang langka. Sebuah nomor kontak di ponselnya dia tekan untuk memanggil, namun tak ada jawaban. Dicoba lagi untuk yang kedua kalinya, hasilnya masih sama.

Suara burung menjerit-jerit di pepohonan yang berhimpit. Resti mencoba berjalan untuk sekedar melihat-lihat. Dia tahu, untuk sampai ke sebuah tikungan menuju jalan besar masih cukup jauh. Dia pernah melewati jalan ini dua atau tiga kali, dia lupa. Sambil mencoba kembali menyambungkan panggilan, dia berharap ada yang lewat untuk dimintai bantuan.

Setelah sekitar seratus meter lebih berjalan, tak menemukan siapa pun bahkan tak menemukan sinyal untuk melakukan panggilan. Dicobanya untuk mengirim pesan singkat, namun juga tak bisa dia kirim. Kedua tangannya bertolak pinggang sambil menghela napas menyerah, sepertinya satu-satunya jalan adalah menunggu: orang lewat untuk dimintai bantuan, atau juga saat telepon sudah terhubung.

Saat matanya mengedarkan pandangan. Telinganya mendengar lamat-lamat suara orang sedang bercakap. Resti mencoba mencari sumber suara, berjalan sekitar lima puluh meter lagi, suara itu makin jelas, namun masih tak jelas apa yang dibicarakan. Pandangannya mencoba menembus ranting-ranting pepohonan dan belukar yang menghalangi. Setelah berada di posisi yang lumayan jelas untuk melihat, yang pertama kali dia lihat adalah sebuah rumah yang agak menjorok ke dalam, hingga tak terlihat jelas karena tertutupi pepohonan.

“Sejak kapan di sini ada rumah,” batin Resti.

Sambil mencoba membuka ruang pandang, terlihat ada tiga orang berseragam oren berlengan panjang menyalami satu orang tak berseragam. Dua di antara orang berseragam itu memiliki kumis dan jenggot lumayan tebal. Kemudian mereka bertiga berjalan ke arah mobil. Saat mereka tahu akan kehadirannya, satu orang berseragam menatap Resti dengan gelagatnya yang sedikit tertekan. Bibirnya bergetar seperti hendak mengucap sesuatu. Salah satu dari mereka merangkulnya dengan sedikit dorongan ke mobil berwarna oren bertuliskan nomor yang bisa dihubungi. Dari bentuk dan perlengkapan yang dibawa mobilnya, Resti sudah bisa mengaitkannya bahwa orang-orang itu adalah petugas ledeng. Mobil itu melaju ke arah berlawanan dengan Resti. Sekali lagi, melalui jendela mobil, orang dengan wajah tertekan itu melihat Resti. Sekarang tinggal laki-laki seumurannya yang kini masih berdiri di sana, dia melempar pandangan ke arahnya. Berpakaian kaos polos abu-abu dan celana jeans hitam juga sebuah gelang yang melingkari ruas pergelangan tangan.

“Permisi.” Resti ragu-ragu. Laki-laki itu masih memandanginya dan belum keluar sepatah kata. “Mobilku mogok. Bisa kau membantuku?” tanya Resti.

“Aku tak yakin.” Laki-laki itu bicara merendah.

“Tolong dicoba,” kata Resti sedikit memohon.

Tak ada penolakan darinya dan Resti menghargai itu. Sambil berjalan ke arah mobil, dia menceritakan kronologinya sebelum mobilnya berhenti total.

“Kau sendirian?” tanya laki-laki yang tak banyak ekspresi itu.

“Ya, semua dengan kesibukannya masing-masing,” jawab Resti seolah itu tak masalah. “Mungkin mobil ini hanya butuh dorongan, kau siap mendorong? Aku akan coba menyalakan mobilnya,” ujarnya lagi.

“Ya, tentu.”

Saat mobil didorong, masih tetap sama hanya berjalan tersendat-sendat tak menyala. Bahkan setelah yang kedua kali, tiga kali hingga sampai dekat rumahnya, tetap tak mau menyala.

“Oh, maafkan aku,” ujar Resti setelah melihat laki-laki itu sedikit terengah-engah lalu keluar dari mobil.

“Tak apa. Aku juga tak pernah belajar auto mekanik kau tahu?” jawabnya.

“Aku lebih tak mengerti. Ehm, siapa namamu?”

“Ardi. Kamu?”

“Resti.”

Ardi memandang langit yang kelam, lalu menurunkan pandangan. “Maaf sepertinya aku tak bisa memperbaiki. Kau punya nomor yang bisa dihubungi? Teman, petugas mobil derek atau pihak bengkel yang menerima panggilan, mungkin?”

“Sayangnya tidak. Sudah kuhubungi teman dan yang lain, hasilnya tak ada jawaban.” Resti memandang lagi layar ponselnya.

“Ehm, mungkin bisa dicari secara daring, kau tahu maksudku, mungkin ada pelayanan jasa menggunakan daring bukan?”

Resti mencoba mengaktifkan data internet. Jaringan sangat lemah, bahkan hilang lagi. Embusan napas putus asa keluar dari mulutnya. Ardi memandang wajahnya namun sebentar. Rambutnya yang terurai dan dibiarkan disentuh angin lewat terlihat cukup membuatnya terlihat menawan. Sementara pepohonan berayun gemulai. Seakan bahagia menyambut kedatangan hujan.

“Mungkin ada satu pilihan terbaik. Hujan akan segera turun, kemungkinan juga akan dibarengi badai angin. Aku pikir lebih baik kita berteduh dulu.” Tangannya menuding ke arah pepohonan, namun Resti paham, yang dimaksud adalah rumahnya. “Sambil menunggu sinyal,” sambungnya.

“Ya.” Resti mengangguk ragu. Rumah yang cukup menyeramkan di antara pepohonan lebat. Agak jauh dari tepi jalan. Bahkan di bagian depannya saja, terasa ada hawa aneh yang bertiup. Apalagi Ardi adalah orang baru dikenal dan tinggal di tempat sesepi ini.

“Biar aku yang dorong,” ujar Ardi.

Lihat selengkapnya