Keterasingan adalah dunia yang sedikit berbeda. Pembicaraan jadi sebuah hal yang langka. Di segi lain, prasangka orang lain jika melihatnya dari jauh akan naik ke udara. Tentang keangkuhan yang tak bakal orang lupa. Namun di sanalah ia berada, dalam celah bumi bermandikan sepi. Dia ada dan memahami. Memerhatikan setiap langkah dunia dari jendela.
Meski hanya sesekali saja dan kali ini sedikit kesiangan, dia berada di antara kerumunan orang. Sebuah pasar tradisional yang penuh dengan langkah kaki. Beragam wajah dia temui. Wajah cantik, wajah tak peduli, wajah mengundang iba, sampai wajah penjahat pun ada. Hari minggu selalu lebih ramai. Jalanan penuh orang hampir berhimpit.
Penutup kepala pada jaketnya dia sarungkan, meneduhkan wajahnya dari silaunya matahari yang muncul, juga tatapan yang seakan menusuknya dari belakang. Semakin banyak yang tak mengenalnya, maka akan lebih baik.
Segala macam kebutuhan ada. Baru atau bekas terserah mana yang mau dipilih. Namun hanya dua barang utama yang dia cari, kentang dan madu. Dari jauh sudah tampak pedagang langganan yang bersuara keras meski tanpa pelantang sedang melayani seorang perempuan.
“Hey! kamu telat. Barang yang kau cari sudah terjual,” ujar Ike.
“Ya, tak apa. Akan kucari di tempat lain,” jawab Ardi.
“Perempuan cantik ini yang terakhir membeli yang kau butuhkan.” Pandangannya menunjuk ke perempuan berkulit kurang putih namun cukup manis.
“Kau mencari kentang?” Suaranya begitu cemerlang di telinga Ardi.
“Ehm, ya.” Ardi sedikit menjaga nada bicaranya.
“Kau mau ini?” Sebuah kantong dia tunjukkan padanya.
Tak ingin mengambil sesuatu yang sudah terbeli, Ardi menolaknya dengan alasan yang harusnya dapat diterima. Namun dia terus menawarkan kentang itu padanya bahkan dengan sebuah pilihan untuk membaginya setengah-setengah.
Tanpa disadari, Ike sedang berkacak pinggang memerhatikan mereka yang saling tawar dan menolak sekantong kentang, hanya menggerakan matanya bergantian ke arah Ardi dan perempuan itu, ekspresinya menggelikan. “Ayolah! kenapa kalian tak menikah saja lalu berbagi kentang dalam keluarga kalian?”
Saling sipu yang ada. Tak ada pembicaraan dua jenak antara keduanya, hanya tawa Ike yang meledak namun menipis dengan cepat.
“Kuharap besok sudah ada,” ujar Ardi.
“Saya janji. Bagaimana dengan tukang ledeng yang datang ke rumahmu?” tanya Ike.
“Dia professional. Terima kasih sarannya.”
Ardi memberi isyarat untuk pergi. Perempuan itu mengangguk dengan bibir dan mata yang tersenyum. Mungkin itu tanda sebuah ketulusan dalam senyuman. Gerakan itu cukup menampilkan wajahnya yang indah, terlebih saat sinar matahari menimpa wajahnya membuatnya makin cemerlang.
“Dia orang yang baik, namanya Ardi,” kata Ike pada perempuan itu sebelum Ardi benar-benar pergi.
Lalu Ardi berubah pikiran, sebelum mencari kentang dan madu dia menuju ke sebuah retail market depan terlebih dahulu. Mencari sesuatu untuk menemaninya bersendiri. Saat berjalan dengan wajar, ada dua laki-laki berwajah kelebihan percaya diri, salah satunya menabrak Ardi. Tak sampai jatuh, hanya membuatnya mundur dua langkah. Laki-laki itu memasang wajah menantang. Ardi tak menanggapinya serius, hanya memandangnya datar sejenak lalu melanjutkan langkahnya.