Philogynik

Suyat Aslah
Chapter #4

BAB 3

Rumahnya seperti dalam zona dengan kesepian tersendiri. Ada banyak bisikan dari alam yang seperti menunjukkan interaksi dalam bahasanya. Bagaimana angin meniupkan pada pepohonan yang membuatnya seperti melakukan tarian. Suara gemerisik dedaunan dan kicau burung yang berdecit. Rumah yang lumayan cukup besar namun tak banyak pencahayaan. Beberapa kaca bagian depan telah pecah di beberapa bagian. Dan telah lama dibiarkan begitu saja. Namun selebihnya, adalah tempat yang berisi kedamaian baginya selama ini. Meski hawa itu tak selamanya menenangkan bahkan bagi pemilik jiwa sepi seperti Ardi, terutama akhir-akhir ini. Membuatnya ingin menghambur pada dunia luar meski tak tahu bagaimana caranya. Bagi orang-orang itu adalah tempat tak biasa. Seperti ada kengerian yang terselubung hawa dingin dan panas yang saling bertemu. Mungkin itu yang ada dalam pikiran orang saat lewat di depan rumahnya.

Ada beberapa yang diajarkan Ibunya sebelum terkena stroke, menjauhi radar dan siap menyerang kapan saja jika perlu. Bahkan memang itu tak senormal keluarga lain. Sejak kecil Ardi dibiasakan memegang senjata oleh Ibunya, meski awalnya tanpa peluru. Tak banyak yang tahu riwayat tentang keluarganya hingga memiliki barang yang dilarang kepemilikannya oleh negara. Namun Ardi kecil tak tahu apa yang telah terjadi sebenarnya.

Saat masuk Sekolah Menengah Atas, Ardi diajari teknik menembak dan merawat senjata: membongkar, membersihkan, meminyaki dan merakit kembali, insting menyerang dengan bekal kewaspadaan, juga bagaimana menghilang dengan senyap menjauhi radar. Meski hanya melihat gerakan yang Ibunya contohkan dan dia belum diperbolehkan menembak langsung. Kelak setelah putus sekolah dia baru diizinkan menembak secara langsung. Selain itu dikenalkannya juga pada orang-orang yang siap menyuplai peluru atau beberapa senjata secara rahasia. Dia pernah mempertanyakannya pada Ibunya, jawabannya hanya “Sudah, percaya saja dengan Ibumu.”

Namun sampai Ibunya terkena stroke berat, Ardi belum pernah terlibat secara langsung insiden yang mengancam nyawanya dan menuntut aksi yang nyata. Mentalnya sudah pasti belum terasah, hanya teori saja yang dipelajari. Dan Ibunya selalu berusaha menanamkannya dalam jiwa melalui cerita-cerita.

“Dor! Dor! Dor!...” Seperti biasanya, dia berlatih menembak di belakang rumahnya yang cukup lapang, dibatasi oleh tumpukan pasir dalam karung. Bunyi senjata Glok 17 dan bau menyengat mesiu dari peluru yang dia tembakkan sudah biasa baginya. Kecepatan pengisian magasin sudah sering dilatih. Begitu juga dalam membidik sasaran berbentuk orang-orangan yang dipancangkan dengan dada sebelah kiri dan kepala sebagai sasaran utama, ada juga berupa kaleng besar dan kecil. Berbagai posisi menembak juga sudah biasa dia latih, misalnya dalam posisi berlari lalu berhenti tiba-tiba dan langsung menembak, atau dalam posisi membelakangi sasaran lalu berbalik kemudian menembak. Bahkan dia juga belajar menggunakan senjata Sniper M200 Intervention dengan bidikan berupa ranting kering pepohonan. Setelah selesai senjata itu disimpan dalam plastik tebal yang dimasukkan ke koper khusus, lalu menyimpannya dalam bungker.

Untuk saat ini dia merasakan sesuatu yang membuatnya ingin menghambur sejenak pada dunia. Toh selama ini tak ada orang-orang yang mengancam hidupnya, pikirnya. Lagi pula bisa menghilangkan rasa bosan yang perlahan seperti membunuhnya.

“Tenanglah, Bu. Takkan ada yang mengganggu. Mungkin, selama ini hanya ada dalam imajinasi.” Tak ada ekspresi khusus dari Ibunya, hanya memandang langit-langit dan kerjap matanya seperti memandang sesuatu. Kemudian Ardi meyakinkannya lagi, “Akan aku cari ke seantero rumah, jika tak ada siapa pun izinkan aku keluar sebentar saja.” Tak ada anggukan kecil, hanya lirikan sebentar ke arahnya dan mendesah lirih. Ardi menganggap itu persetujuan.

Lalu menelusuri seluruh ruangan di rumahnya, di sayap kanan dan kiri yang lumayan gelap. Berganti ke ruang lainnya lagi. Matanya mengawasi gerakan sekecil apapun. Terkadang sesuatu yang mencurigakan justru berawal dari hal-hal kecil. Setelah tak dia temukan, Ardi pun ke luar mengelilingi rumahnya, mengecek pintu jendela dan pintu-pintu lain yang mungkin bisa jadi salah satu jalan masuk diam-diam. Dia juga memastikan jika pintu itu sudah terkunci dari dalam. Hasilnya, tak ada yang tak wajar. Lalu kembali ke kamar Ibunya.

“Aku janji, jika ada yang benar-benat berani mengganggu, aku akan mengejar dia, siapa pun dia. Perampok, pembunuh bayaran, preman atau siapa pun. Aku akan menghajarnya habis-habisan,” katanya pelan namun tak main-main. Ardi mengecup keningnya, menggenggam tangannya sebentar, lalu pergi.

Tentu Ibunya tahu kepergian Ardi sekarang, tak seperti hari saat belanja ke pasar lalu kembali setelah selesai. Ada alasan lain dan mungkin lebih lama dari biasanya. Akan kembali lagi memang, namun keberadaannya di luar akan berbahaya untuknya.

Bertahun-tahun sebelum Ibunya terkena stroke. Bahkan sejak kecil, Ardi selalu diceritai tentang bagaimana bahayanya orang-orang di luar sana. Kepalanya telah diisi oleh sesuatu yang membuatnya sangat berhati-hati pada orang asing, orang yang penuh dengan kemunafikan, pandai menyamar menjadi siapa saja. Dan mereka bersenjata. Di saku-saku celananya penuh dengan peluru dan obat-obatan terlarang. Mungkin saja mereka menebar umpan untuk menarik pemangsa, yang akan dimangsa lagi oleh pemangsa lebih besar. Mereka yang bekerja di lapangan hanyalah orang suruhan.

Awalnya Ardi mendengarkan cerita itu tanpa dia sadari cerita itu membentuk dirinya hidup makin tertutup. Selalu menarik diri dari pergaulan. Hanya bisa berinteraksi dengan sedikit orang. Ibunya selalu mewanti-wanti ada banyak orang hendak memburunya. Bahkan alasan saat putus sekolah adalah Ibunya merasakan sesuatu kian dekat dan cukup mengancam. Namun alasannya berbeda saat menyampaikan pada pihak sekolah. Lalu sang Ibu mengajak Ardi untuk berpindah-pindah tempat dan menciptakan identitas baru. Kemudian menyuruhnya tetap berdiam di rumah yang dikontrak, sementara Ibunya membuka usaha toko roti, lokasinya 100 meter dari pasar.

Saat itulah Ardi mulai menekuni secara serius dunia menulis. Menyampaikan keinginannya akan koleksi buku-buku pada Ibunya, lalu dengan usahanya berjanji akan memenuhinya bahkan membelikannya sebuah laptop baru. Namun Ardi sendiri tak pernah tahu dari mana uang itu ada, bahkan ada banyak cobaan saat awal membuka toko itu salah satunya belum ada langanan. Yang jelas itu adalah jenis dukungan dari orangtua yang menginginkan anaknya tumbuh dengan pemikiran lebih luas tentang dunia luar, bukan dengan cara dukungan yang pasif, seperti membiarkan anaknya berkembang sendiri tak peduli apa yang dia butuhkan untuk mendukungnya. Sumbu kegelisahan yang hanya tersimpan rapat di hatinya dia tumpahkan dari ujung pena, segala beban keterasingan dalam cerita-cerita yang kelak terpampang di berbagai media.

Pelan-pelan toko itu cukup berkembang dalam dua tahun lebih. Ike adalah salah satu langganannya sebelum dia sendiri jadi pedagang pasar dan sangat akrab dengannya. Lebih dari cukup untuk hidup berdua, tabungan yang terkumpul digunakan untuk membeli sebuah rumah yang tak pernah Ardi tahu transaksi dan di mana rumah itu, yang dia tahu Ibunya mengatakan itu ‘rumah kelinci’. Namun setelah kesehatan Ibunya mulai memburuk, toko rotinya jadi tak terurus. Sementara Ardi sama sekali tak ada keinginan mengurusinya. Akhirnya, toko itu dijual meski dengan harga yang tergolong jatuh, lalu pindah ke sebuah rumah daerah semenanjung. Ardi tak begitu yakin ini rumah yang Ibunya beli. Tempat yang terbungkus kesunyian dan mungkin dia ingin makin mengisolasi diri.

Antara percaya dan tidak percaya, kadang keyakinan itu hadir bergantian. Pernah Ardi menganggap cerita tentang mata-mata itu hanyalah dongeng belaka. Sempat juga berdebat dengan Ibunya saat mengharuskannya putus sekolah. Namun pertentangan itu tak berlangsung lama.

Saat mulai suka menulis, Ardi mulai terbiasa dengan riset untuk menghindari sekecil apapun sebuah kecacatan bercerita. Membangun kisah-kisah dengan kedalaman logika. Memikirkan segala permasalahan untuk dicari penyelesaiannya. Dia mulai berpikir lebih dewasa dan membaca banyak buku. Namun pada awalnya semua terasa berat bahkan sama sekali tak menghasilkan uang. Dia juga mulai mendalami asal muasal cerita tentang mata-mata yang memburunya, dengan tak asal menerima begitu saja.

Setelah diingat-ingat, akhirnya dia dapati sebuah pangkal. Semua ini ada hubungannya dengan sang Ayah, Herman Setiadi. Ibunya juga sempat menceritakan, rumah yang di tinggalinya sekarang adalah aset terbengkalai yang dibuat saat masih bersama Ayahnya. Namun sampai perpecahan itu tiba, rumah diserahkan pada Ibunya. Dan tak banyak yang tahu tentang rumah ini. Katanya, dulu adalah rumah impian. Sebuah bayangan bahwa, kelak keluarganya akan bahagia hidup di dunia damai. Tak ada gangguan dan hidup dengan cara biasa: berkebun, memetik buah-buahan langsung dari pohon dan mengurus hewan ternak.

Itu adalah bayangan keluarganya saat mempunyai keinginan untuk berhenti dari pekerjaan ilegal yang melawan hukum. Perdagangan narkoba, senjata ilegal dan terlibat penyuapan polisi dan pejabat daerah yang membuatnya tak tersentuh oleh hukum. Usaha haramnya berkembang dan punya banyak anak buah. Dia mendapat kehormatan dan kuasa lebih. Namun pencapaiannya itu membuat Ayahnya lupa akan mimpinya. Untuk alasan kenapa dia pergi, Ibunya memaparkan peristiwa pengkhianatan anak buahnya, yang ‘diam-diam mencintai Ibu’, dan Ardi dianggap hasil dari perselingkuhan. Itu tuduhan yang ditentang Ibunya. Salah satu anak buah lainnya menghabisi dia yang dianggap pengkhianat.

Untuk perkiraan di mana Ayahnya berada, Ibunya punya keyakinan dia masih berada di kota ini, karena sangat mungkin dan Herman tahu, bahwa pejabat atau lembaga hukum di kota ini sangat mudah disuap dan dia masih punya kendali atas kota ini. Namun dari pembicaraannya dengan sang Ibu. Seakan masih ada sedikit yang ditutupi. Lalu sebuah pertanyaan muncul di benak Ardi : siapakah sebenarnya mata-mata yang dimaksud? Jika itu utusan Sang Ayah, kenapa butuh waktu lama untuk menemukan keberadaannya sekarang. Sementara Ayahnya sendiri semestinya sudah sudah tahu dan tak perlu memata-matai rumah ini.

“Kenapa dia ingin mengganggu kita lagi, jika dia sendiri yang memutuskan untuk pergi?” tanya Ardi waktu itu.

Lihat selengkapnya