Philogynik

Suyat Aslah
Chapter #5

BAB 4

Di depan rumah dalam sebuah perumahan, seseorang sedang menghisap rokok, tangannya belepotan oleh cat lukis. Di hadapannya ada sebuah meja tempat meletakkan cat-cat lukisnya. Di samping kanannya ada sebuah kanvas yang diletakkan pada stand dengan lukisan setengah jadi. Lalu sebuah ponsel berdering di sakunya, dia berdecak kesal sendiri karena tangannya kotor dan membuatnya sulit mengambil ponselnya. Meski begitu tetap juga ponsel diambil meski sebagian cat menempel di bajunya.

Terdengar suara dari benda kecil itu, “Aku ingin mengabarimu sesuatu. Hanya peristiwa kecil biasa tapi, mungkin ini sedikit mencurigakan.”

“Peristiwa apa?” tanyanya, menganggapya enteng saja.

“Lukisan anda laku 5,5 juta rupiah.”

“Itu kabar bagus, kan?”

“Ya, tapi apa kau mengenali pembelinya? Di daerah semenanjung. Bahkan aku tak tahu jika di sana ada rumah. Dan dia seperti terikat emosional yang aneh saat pembukaan harga lelang,” ujarnya.

“Siapa namanya?” kali ini mulai serius, bahkan dia berdiri meninggalkan lukisannya.

“Ardi.” Nama itu Asing di telinganya. “Berumur sekitar dua puluh enam tahun, dia juga seorang penulis,” sambungnya.

Ingatannya membayang pada sebuah peristiwa di tahun 1995. ‘Hapsari’ sosok perempuan dalam lukisan itu. Istri Herman Setiadi, bosnya dulu saat awal perpindahannya dari Brooklyn. Kehidupan yang cukup berat hingga menerima tawarannya untuk menjadi anak buahnya. Namun sebuah peristiwa kesalahpahaman membuat Herman memerintahkan anak buahnya untuk menghabisinya, dan Herman tak pernah tahu jika, anak buahnya terlalu mudah disuap. Pembunuhan itu dia reka seperti kenyataan, hingga semuanya hanya pada satu pengetahuan yang dipercaya bahwa itu nyata, Paul sudah mati! dia sendiri tahu betul pesuruh Herman berpijak di posisi mana sampai sekarang. Dan satu hal yang cukup menarik, bayi dalam lukisannya itu, adalah sumber perpecahan yang sebenarnya. Pikirannya memusat pada seorang bernama, Ardi. Paul yakin itu adalah nama samaran. Akhirnya dia kembali duduk menghadap lukisan lagi, tangannya meraih kuas lalu mengambil cat berwarna putih, meski belum selesai, dia menorehkannya pada kanvas, sebuah tulisan “John Paul Flanner”



Keesokan harinya, Ardi menatap dirinya pada cermin. Terkadang manusia bisa belajar pada hewan. Berkamuflase untuk melindungi diri. Dia memasang kumis dan jenggot palsu lagi. Menyisir rambut kepalanya ke belakang. Untuk menjadi orang lain, memang butuh usaha ekstrem, kadang mengorbankan kelebihan yang melekat pada dirinya. Dan sebetulnya dia tak terlalu suka dengan kumis dan jenggot. Sambil menarik napas dan mengembuskannya dengan cepat. Penuh ambisi yang memenuhi dada. Memperbaiki kerahnya juga mengusap-usap lengan jaketnya seolah-olah ada kotoran yang menempel. Sedikit parfum pada dada dan denyut nadi pergelangan tangan. Lalu memakai topi model baret.

“Siapa pun kamu, Aku siap menghajar wajahmu!” Ardi bicara sendiri pada cermin.

Kemudian mengambil sepeda, mengayuhnya sampai ke dekat sebelum lapak Ike, tempat penitipan sepeda. Biasanya pasar akan mulai sepi sampai jam 4 sore. Ike sempat melayangkan pandang ke arahnya saat dia berjalan melewatinya. Namun segera beralih ke yang lain, seperti tanpa ada rasa curiga. Itu berarti penyamarannya berhasil, batin Ardi. Namun Ardi tak pernah tahu, setelah dia lewat Ike menerkai dari belakang. Mengamati pembawaannya saat berjalan, tentu sudah paham gaya berjalan Ardi.

Dengan langkah mantap, melewati orang-orang yang memenuhi jalanan pasar. Suara tawar menawar antar pedagang dan pembeli cukup berisik. Ardi tak peduli dengan itu semua. Setelah sampai di depan pasar, ada beberapa bus-bus satu pintu yang menunggu tumpangan. Sementara dia mencari bus dua pintu. Suasana lumayan penuh, Ardi harus menyela di antara penumpang yang kebanyakan tidak dapat jatah tempat duduk, termasuk Ardi sendiri. Ada dua siswi yang dilihatnya, mengingatkannya pada Sheryl, sosok yang pernah tinggal di hatinya. Entah di mana dia sekarang.

“Ah, tak ada yang perlu dibangunkan lagi dari kenangan itu. Cinta adalah omong kosong,” batinnya mengumpat, namun dia tak bisa membohongi diri. Lalu matanya melihat seorang bayi dalam pangkuan Ibunya yang duduk di samping Ardi berdiri, bayi itu menatap Ardi lalu tersenyum sambil mengulurkan tangan padanya. Seperti ingin meraih jenggotnya untuk dimainkan. Ardi tersenyum, senyum yang terasa berbeda.

Di perjalanan banyak yang turun, termasuk Ibu dan bayinya. Menyisakan ruang duduk untuk Ardi. Masih setengah perjalanan. Melewati persawahan, rumah dan ruko-ruko pinggir jalan. Tiba-tiba pikirannya teringat Ibunya yang sendirian di rumah. Biar bagaiamanapun urusan ini harus cepat selesai, lalu langsung pulang.

Sampailah pada sebuah pintu berportal di sebuah perumahan, bertuliskan “TAMAN ISTANA” itu adalah alamat pelukis yang dikatakan orang dengan gigi tidak rata saat di pameran lukisan. Sebuah TV 14 inch menyala di dalam pos jaga. Seseorang tengah duduk di kursi memandangi TV sambil memakan sesuatu, pipinya menggembung sambil mengunyah. Dari lubang kaca Ardi menyeru,”Permisi, Pak?”

Dia beralih ke Ardi, berhenti mengunyah namun dilanjutkannya setelah satu dua jenak sambil memerhatikan Ardi. Menelannya sebentar lalu minum pada gelas yang berada di meja kecil, yang juga tempat berdirinya kipas angin kecil. Kemudian menggerakkan kursi beroda mendekat ke kaca tempat sebuah lubang kecil. Di balik lubang itu juga ada semacam, mungkin meja model penyangga yang dipakukan pada tembok. Ukurannya lebih kecil lagi. ”Ada apa?” tanyanya dengan wajah tanpa ekspresi senyum.

“Benarkah rumah John Paul Flanner ada di sini?” Ardi mencoba tetap normal.

Penjaga itu diam sejenak, memandangi Ardi dengan tatapan penuh pertimbangan. Sambil lidahnya menyela-nyela giginya, mungkin ada sesuatu yang menyelip. “Ya, ada perlu apa?”

Ardi yakin tampang segarang itu butuh waktu latihan yang serius cukup lama. Tapi Ardi tetaplah pemilik wajah sedingin kapas basah. Tak terpengaruh sedikit pun olehnya. “Saya ingin bertemu dengannya, beliau mengenal betul dengan saya. Boleh saya masuk, di sebelah mana rumahnya?”

“Tolong tanda pengenal.” Dia memintanya dengan nada datar.

Setelah Ardi memberikannya, si penjaga mengamati foto dan wajah Ardi bergantian. Sedikit terlihat berbeda jika dalam foto, Ardi tak berjenggot dan berkumis. Bahkan penjaga itu tak tahu, kartu pengenal itu adalah palsu. Sebelum datang ke sini, Ardi telah lebih dulu memesan duplikat kartu penduduk dengan nama lain kepada penjual senjata illegal, dia juga ahli dalam pemalsuan dokumen. “Foto berapa tahun yang lalu?” tanyanya sambil mengangkat kartu pengenal itu.

“Tercatat di sana, Pak.”

Penjaga itu diam lagi dengan tatapan masih menimbang-nimbang sambil mengetuk-ngetuk kartu itu pada meja di balik lubang kaca. “Kartumu saya tahan,” katanya lalu diam tak lama dan melanjutkan, “Dari sini lurus perempatan kedua belok kanan blok 3 c5,” katanya sambil menudingkan tangannya menunjuk arah.

“Terima kasih, Pak.”

Portal dibuka. Ardi melangkah sambil merilekskan diri. Menghela napas lalu mengembuskan semuanya. Setelah tujuh langkah, matanya melihat tak sengaja ke arah kiri, sebuah tulisan peringatan “PELANKAN KENDARAAN, BANYAK ANAK-ANAK”. Terpasang di atas papan blok penunjuk nomor rumah. Sebuah mobil SUV melewatinya. Dalam pikiran Ardi, mungkin hanya manusia cukup kaya yang hidup di perumahan ini. Jalanan cukup lebar, terlihat rapi dan teratur juga terasa mewah dengan kebersihannya yang asri. Bahkan ada beberapa yang memiliki halaman cukup luas. Dan hampir semuanya mungkin memiliki mobil.

Tak begitu jauh dari pos jaga. Sangat mudah menemukan blok dan nomor rumah yang dia cari. Sebuah rumah dengan pot penuh bebungaan warna-warni, dibuat bertingkat-tingkat. Seperangkat meja dan kursi kayu yang dipolitur. Mungkin baru dibelinya satu minggu yang lalu. Sebuah koran yang terlipat di sebelah asbak yang masih berisi sisa puntung rokok berasap. Dan tak jauh dari situ, berdiri gemuk sebuah gelas yang dipangku cawan berwarna bening. Dia cari-cari tak ada tombol lonceng di pintu atau tiang depan rumah. Ardi mengetok pintu tiga ketukan, lalu menunggu sejenak. Saat tak ada respon, dia hendak mengetuknya lagi. Terdengar suara seorang perempuan dari dalam, “Sebentar!”

Ada dua mobil terparkir di depan rumah. Lalu Ardi memandangi halaman sebentar. Cukup luas dan terdapat pohon mangga yang lumayan rimbun. Halaman di sisi kiri rumahnya cukup terbuka dengan beberapa pohon Palm dengan tanah berumput cukup luas hingga menyentuh tepi jalan umum yang berjarak sekitar seratus meter dari rumahnya. Terlihat seperti taman bermain karena ada juga ayunan untuk anak-anak. Tak lama kemudian, terdengar pintu dibuka. Ardi berbalik dan melihat, sesosok perempuan dengan daster lengan panjang, tangannya bertabur tepung. “Mungkin dia sedang membuat kue,” pikir Ardi.

“Maaf terlalu lama membuka pintu, ada perlu apa ya?” perempuan itu bertanya dengan pikir di kepalanya.

“Apakah ini benar rumah John Paul Flanner?” Ardi bertanya pelan.

“Ya.”

Lihat selengkapnya