Udara yang dihirup terasa berbeda. Kumis dan jenggot masih terasa menganggu. Berulang kali tangannya mengelus-elus. Kali ini, saat pulang dari rumah Paul, bus yang dia tumpangi sangat longgar. Hanya ada empat orang penumpang. Di sisi kanannya, duduk dua remaja laki-laki dan perempuan. Mereka bercakap dan terlihat mesra. Ardi memandangnya sejenak lalu memilih duduk di belakang. Mengingatkannya bahwa dia sendiri belum pernah berkenalan dengan hubungan spesial semacam itu. Itu cukup mengganggu pikirannya. Dan terasa lebih cepat saat pulang. Sekitar setengah jam lebih sedikit sudah sampai di pasar.
Dunianya selalu begitu. Dan dia tetap berjalan, sambil melihat pengamen yang bernyanyi dengan nada sumbang memainkan gitarnya. Lalu berganti pada seorang tua yang duduk di bawah tiang sebelah penjual buah. Perempuan pesepeda berhenti sejenak di dekat orang tua itu, membungkuk meletakkan uang kertas, bukan melemparnya. Rambutnya tergerai alami. Dari belakang tampak lehernya yang jenjang. Memakai rok longgar semata kaki dan baju berlengan panjang. Dari perawakannya menarik perhatian Ardi.
Sambil melangkah pelan dan menyapu pandang. Tiba-tiba anak kecil yang ceria berlari menabrak Ardi, sedikit membuatnya terkejut. Saat anak itu mendongak, dia malah tersenyum lebar. Ibunya meraih tangan mungilnya dan menuntunnya, sesekali anak itu berjingkat. Kakinya yang kecil namun gemuk terlihat menggemaskan. Dia menengok ke belakang, tersenyum pada Ardi, kelihatan giginya yang putih. Ardi mengangkat tangannya, seakan mengatakan ‘Sampai jumpa lagi.’
Saat Ardi berbalik, dia dikejutkan dengan sosok perempuan pesepeda itu yang hendak lewat. Tanpa sadar Ardi telah menghalangi jalannya. “Permisi, bisa aku lewat?” tanyanya.
“Tentu.” Bahkan butuh beberapa detik untuk menyadari siapa sebenarnya perempuan itu. Ya, dialah Sarah si penyiar radio.
“Kau tak apa?” Tatapannya sepenuhnya diarahkan ke mata Ardi karena ada ekspresi khusus saat dia memandangnya.
“Ya, kita kita pernah bertemu, kan?” Ardi mencoba akrab namun dia sendiri lupa bahwa penampilannya masih dalam penyamaran.
“Ehm, sepertinya aku tak mengenalmu.”
“Kau Sarah, kan? Kau yang membeli kentang dulu.” Karena terlanjur terlibat percakapan, akhirnya dia lanjutkan.
“Ouh, kau Ardi? Terlihat berbeda,” jawab Sarah dengan ekspresi terkejut.
“Sedikit berbau penjara?” Sedikit gurauan untuk menutupi kegugupan.
“Bukan. Aroma kebebasan. Dan tampak lebih berwibawa.”
“Aku merasa, mungkin ini bukan diriku. Ehm, bagaimana dengan pekerjaanmu, sebagai penyiar radio?”
“Kau agen rahasia?”
“Mungkin. Maksudmu orang yang selalu menyimpan rahasia? Ya, itu aku.”
“Ha ha.”
Mereka tertawa bersamaan. Saat tawa mulai reda, sejenak tatapan mereka bertumbukan. Pijarannya menyelusup ke sanubari. Merambatkan gelombang yang mereka nikmati. Dalam beberapa detik, mereka tak saling bicara. Hanya lempar tatap dan senyum sipu. Sarah menjatuhkan pandangan. Semburat kemerahan di pipinya membuatnya tampak menggemaskan. Sementara Ardi menatapnya lebih dalam, sambil berusaha mencari celah dari mana dia harus memulai pembicaraan kembali.
“Bolehkah aku berkunjung ke rumahmu?” tanya Sarah.
Pertanyaan itu menyergap Ardi tiba-tiba. Sejak dulu aturan yang tak boleh dilanggar adalah, jangan ada orang asing sembarangan tahu kehidupannya, sejauh ini hanya tukang ledeng, Resti dan pengemudi mobil derek. Itu pun cukup mengkhawatirkan dengan kedatangan Resti kemarin, setelah mendengar cerita Paul.
“Bolehkah?” Sarah menagih jawaban yang belum juga dijawab Ardi.
“Ehm, rumahku selalu terbuka untukmu,” jawabnya setelah berpikir lama.
“Bagaimana jika hari minggu?” Sarah terlihat antusias.
Ardi masih terlalu banyak berpikir. Apalagi hari minggu adalah janji Resti akan datang. Tak mungkin dia menerima tamu dua perempuan sekaligus di hari yang sama. “Ehm, hari sabtu saja,” ujarnya.
“Baiklah.”
“Kuharap jangan terlalu pagi.”
“Kenapa?”
“Aku akan mencukur kumis dan jenggotku dulu.”
**
Sesampainya di rumah, Ardi terluapi kebahagiaan yang jarang dia rasa. Hatinya berbunga-bunga. Bayangan perempuan itu selalu melintas di kepalanya. Saat dia makan, membaca, mendengarkan radio sampai tulisannya terpengaruhi olehnya. Ada yang bilang: seperti halnya sebuah romantika dalam puisi, cinta terkadang gabungan antara keindahan dan tragedi. Seperti itulah yang dirasai Ardi. Dalam hatinya yang dalam, dia menyimpan perasaan itu.
Meski ada rasa lain yang kadang mengganggu. Dunianya sekarang mungkin banyak berhubungan dengan bahaya yang tak mampu dia kira. Kapan dan di mana saja. Keselamatan Sarah harus mampu dia pegang dengan jalan apapun, bahkan nyawanya sendiri. Seperti Ibunya yang sedang berbaring dalam ruang sepi. Namun hari sabtu besok harus jadi hari yang spesial. Semua harus setidaknya tak seperti biasanya. Penampilan, sajian, termasuk ruangan yang lebih tertata.
Di pagi yang cerah Ardi bangun tidur tak seperti biasanya, tak ada rasa malas yang terperangkap di tubuh saat baru membuka matanya. Bahkan raut sumringah sudah tertempel di wajahnya saat berdiri di hadapan cermin setelah bangun tidur. Di luar mungkin masih berkabut, lebih dulu pergi ke kamar Ibunya. Rutinitas yang biasa dilakukan hingga selesai membersihkan dirinya dan berdandan rapi.
“Seseorang akan datang, Bu,” katanya dalam jarak dekat sambil bertekuk lutut di samping ranjang. Dalam gelap Ibunya menatap Ardi, mungkin lebih tepatnya sebuah lirikan melewati sudut matanya. Lumayan lama. Hanya bergetar bibirnya seakan ingin mengucapkan sesuatu.
“Jangan khawatir, dia tidak berbahaya. Aku pastikan itu. Aku akan berhati-hati. Wajahnya mirip sekali dengan Ibu,” jelasnya lagi.
Setelah diam sejenak Ardi kembali berbisik, “Sekarang aku sudah dewasa, Aku tak bisa lagi menghindar, Bu. Bagaimana jika aku mati lebih dulu, tak ada lagi yang bakal mengurus Ibu?”
Butuh waktu hampir dua jam untuk mempersiapkan semuanya. Pada akhirnya hanya sebisanya mengatur ruangan, menyapu, membereskan yang berantakan menyiapkan menu yang Ardi sendiri tak yakin itu cocok di lidah Sarah. Tak lama kemudian, terdengar bunyi ketukan di pintu. Itu adalah panggilan terindah tanpa kata-kata. Ardi beranjak dan memperbaiki setelan baju yang dia kenakan. Menarik napas lalu mengembuskannya cepat. Saat melewati koridor dia menyempatkan bercermin sebentar. Entah kenapa akhir-akhir ini dia jadi lebih suka bercermin. Bahkan cermin di koridor ini baru dia pasang kemarin. Tak ada kumis dan jenggot lagi. Untuk pertama kalinya dia belajar tersenyum di hadapan cermin.