Keesokan harinya, Ardi menulis cerita pendek untuk koran. Akhir-akhir ini dia juga suka menulis diary untuk dirinya sendiri. Ada dua waktu yang sudah jadi kebiasaannya untuk menulis. Hampir tengah malam, atau saat pagi hari seperti ini. Sebagai teman, kopi saat pagi hari, teh hangat saat malam hari. Bayangannya berjalan mengikuti langkah pikiran. Mencari gagasan yang tersembunyi dalam ruang imajinasi yang terkadang terhalang oleh suasana hati.
Terkadang kepalanya memikirkan yang lain. Kali ini dikuasai perasaan yang mengaliri pikiran. Memenuhinya hingga pencariannya pada gagasan dia lupakan. Detik waktu terbuang begitu saja. Tanpa ada kata yang tertulis pada layar Ms Wordnya.
Tak ada gagasan yang sampai tuntas ditulis. Gelisah seperti halnya sebuah desiran yang mengganggu. Dia tinggalkan pekerjaan menulisnya. Beragam pertanyaan muncul dan membuat bingung sebelum dan sesudah kedatangan Sarah. Tetiba dia teringat Resti. Hari ini adalah hari minggu. Resti bakal datang ke rumah Ardi.
Namun sekarang, Ardi sedang mempertimbangkan sesuatu. Masih bercampur dengan ketidakyakinannya. Namun harus dia putuskan dalam waktu yang sebentar, dengan resiko yang sangat besar. Ditambah sebuah janji pertemuan Resti satu minggu yang lalu tak bisa dibatalkannya. Dulu dia menerima kehadirannya karena tak tahu siapa Resti. Atau ini akan jadi pertemuan yang menentukan siapa sebenarnya yang dimaksud Resti. Dalam hatinya dia juga ingin bertemu Ike untuk memperjelas situasi.
Meski Ardi tak yakin, dia tetap mempersiapkan diri. Bisa jadi dia salah satu mata-mata yang dimaksud Ibunya, dan dia sadar telah makin banyak orang yang hadir dalam hidupnya namun tak tahu mana orang yang baik untuk kehidupannya. Atau mungkin sebuah ancaman yang dia tak tahu. Rompi anti peluru dia pakai, senjata Glok 17 dia cek isi pelurunya. Lalu dia melihat jam, 08.00 AM. Dari balik celah jendela, memandang langit selatan lalu melihat jalanan, masih hanya kesunyian yang ada.
Tak lama kemudian, sebuah mobil taksi berhenti di depan rumahnya. Setelah pintu mobil terbuka, sebuah tubuh dengan postur berbeda dengan Sarah keluar. Dia melihat Ardi lalu melambaikan tangan. Ardi keluar dan mencoba menyambut sewajarnya.
“Kukira kau lupa janjimu?” tanya Ardi.
“Tidak. Kau terlihat berbeda?” Wajahnya menampilkan senyum.
“Apa itu bagus?” tanya Ardi sambil mengecek badannya sendiri.
“Tentu.”
“Mobilmu mogok lagi?” Sedikit menebak.