Philogynik

Suyat Aslah
Chapter #8

BAB 7


Hari sudah siang. Resti mengerjapkan matanya berkali-kali. Mencari fokus penglihatannya yang hilang. Buram, seperti ada uap yang menghalangi pandangannya. Perlahan tampak jelas apa yang di hadapan. Ardi dengan wajah datar, lalu menaburkan cuilan-cuilan kertas ke udara.

“Tehnya sudah dingin. Kau melewatkan pestanya,” kata Ardi.

Resti terkejut dan berusaha menegakkan kepalanya yang terasa amat berat. Lalu menyadari dirinya duduk di kursi dan terbelenggu oleh borgol, kedua tangannya terborgol pada masing-masing sandaran tangan pada kursi. Sementara kakinya diborgol pada kaki kursi. Hingga saat tangannya meronta sedikit saja akan terasa sakit pada pergelangan tangannya. Dan dia berada di ruangan berbeda sekarang.

“Apa maksudmu kau begini padaku?!” teriaknya.

“Hanya ingin pesta kecil,” ujar Ardi santai.

“Gila kau?” Wajah Resti terlihat kesal.

“Kau memanggilku gila?” Tatapannya dia pasang di depan wajahnya. Namun Resti seperti tak diliputi rasa takut. “Tak apa, kau bukan orang pertama yang bilang seperti itu,” ujar Ardi lagi.

“Lepaskan, brengsek!!” Resti teriak.

Ardi masih memandangi wajahnya. “Kau mengejutkanku, Resti,” gumamnya.

“Apa maumu! Hah!” Ekspresinya sedikit menantang Ardi.

“Kuharap ada seseorang yang mau mengerti tentangku. Hanya itu.”

“Siapa kau sebenarnya?”

“Seperti katamu,” jawabnya terpotong masih dengan ekspresi datar. “Aku ini gila.” Kembali menaburkan potongan kertas ke udara lalu ngeloyor begitu saja, keluar ruangan itu lalu mengunci pintu.

“Heey!! Heey!!!” Resti teriak sekuat tenaga.

Resti berusaha melepaskan diri, mencari sesuatu yang ada di sekitar, apa saja. Sesuatu yang mungkin saja bisa membuka borgol. Namun tak menemukan apapun, bahkan penjepit rambut, dia sedang tak memakainya. Lumayan lama dia dalam kondisi seperti itu, hingga Ardi kembali ke ruangan sore hari. Sedikit menampilkan wajah heran, namun Resti tahu itu hanya dibuat-buat. “Kenapa rambutmu berantakan?”

“Kau brengsek! Bajingan!” Resti mengumpatinya, tubuhnya mulai terlihat lemah.

“Mungkin sebentar lagi akan hujan. Dan teriakanmu takkan berguna di sini.”

Ardi meraih salah satu kursi dalam ruangan itu, lalu menyeretnya ke hadapan Resti. Memandanginya diam dan tak bersuara. Mengamati wajahnya, mulai dari keningnya, pipinya, mulut, hidung dan berhenti di matanya.

“Kau tahu? Kau cantik, tapi….”

“Kau benar-benar gila!” Napasnya tersengal-sengal. Butiran keringat mengalir di wajah dan lehernya.

“Kau seperti Annelies dalam bukunya Pramoedya Ananta Toer. Dua tahun lalu aku membaca Bumi Manusia. Aku membayangkan seberapa cantiknya dia, hingga digambarkan dewa pun mengaguminya. Kau tahu? Sebuah tulisan memerlukan majas-majas untuk menghidupkan karakter. Dan karena majas pula aku jatuh cinta pada aksara. Tapi, selama ini aku sangat sulit jatuh cinta pada wanita setelah ‘Anneliesku’ entah di mana. Bukan kamu, ada Annelies lain lagi, mungkin aku tak bisa mendefinisikan jenis rasa itu.” Berhenti sebentar lalu menyambung, “Aku tumbuh tidak wajar dalam keluarga yang dihuni nestapa.” Pandangannya sepenuhnya diarahkan pada mata Resti. Hujan mulai turun dan pelan-pelan makin deras.

“Lalu apa hubungannya denganku, hah?!” Resti masih tak mengerti.

“Tentu ada. Aku ingin kau memahami sebisamu,” jawab Ardi.

“Kau orang jahat, aku tahu.”

“Sungguh? Tak ada sedikit kebaikan?” Ardi diam sejenak, “Terima kasih. Aku lebih suka makian kau tahu? Itu akan membuatku makin kuat. Pujian bisa saja mematikan langkah seseorang.”

Petir menyambar tiba-tiba. Terdengar sangat dekat dan mengagetkan. Ardi menutup telinga sambil merundukkan kepala. Resti tak bisa menahan kerasnya suara itu menikam telinga. Masih belum mengerti orang macam apa yang berada di hadapannya.

“Kau lapar?” tanya Ardi dan tak ada jawaban. “Kau sama seperti Ibuku. Hanya diam, tapi aku mencintainya. Maksudku pada Ibuku. Akan kuambilkan kau makanan.”

Resti sedikit meronta meski dia tahu, takkan bisa melepas borgol itu. Petir terdengar lagi beberapa kali namun tak terlalu keras. Tak lama kemudian Ardi masuk lagi membawa segelas air putih dan makanan di piring.

“Kau tahu? Ibuku suka sekali kentang rebus yang dilumuri madu, kuharap kau juga suka. Jangan khawatir, akan kusuapi.” Resti menghindar saat suapan itu diangsurkan.

“Kau seperti hantu di tempat ini.” Nada suara Resti bergetar, seperti tercekat di tenggorokan.

“Ehm, kau benar. Adakah dalam bayanganmu, seorang anak yang mendambakan keluarga kecil yang sederhana. Sang Ayah yang pekerja keras. Seorang yang bertanggung jawab dan suka mendongengi anaknya sebelum tidur. Keluarga yang normal. Sayangnya itu tak terjadi padaku,” jelasnya sambil meletakkan sendoknya ke piring lagi sambil menunduk memikirkan sesuatu. “Kau tahu apa yang terjadi? Dia kepincut dengan perempuan yang lebih muda. Meninggalkan anak dan istrinya yang tanpa daya. Dan sekarang dia adalah Ayahmu!”

Resti terkejut dan memandangnya hampir tak percaya. “Kau anak Herman Setiadi?” Bahkan setahu Resti, anak Herman bukan bernama Ardi.

“Ceritakan sedikit tentang Ayahmu,” ujar Ardi.

Lihat selengkapnya