Di sebuah ruangan tak terlalu bising oleh suara yang mengacaukan kedamaian pikiran. Dalam kondisi semacam ini, ada beberapa tipe orang yang membenci suasana seperti ini. Langkah waktu berjalan amat pelan. Tapi untuk orang renta, mungkin yang mengganggu hanyalah bayangan dalam pikiran juga penyakit yang layaknya diderita orang sudah tua. Ada juga yang terkena stroke. Di sini semua dirawat secara normal.
Beberapa orang laiknya perawat berseragam berwarna biru sedikit abu-abu, laki-laki juga perempuan, mondar-mandir membawa nampan berisi mangkuk juga gelas yang berdiri berhimpitan dan mengeluarkan bunyi dentingan seirama langkah kaki yang membawanya.
Meja besar dan panjang dikelilingi kursi-kursi tinggi, hingga seseorang yang mendudukinya hanya tampak pucuk kepalanya saja. Seluruh kursi telah penuh para lansia yang terhidang pelbagai menu, kebanyakan berkuah dan lembek. Di seberang meja yang jauh dari ujung lain seseorang dengan tatapan dingin duduk di sana, seperti menimbang-nimbang. Namun berganti kekosongan. Tak ada yang tahu apa isi dalam tatapan lamunannya. Semakin dalam dan membenamkan kesadarannya. Seseorang yang berdiri tegap di sampingnya menepuk pundaknya. Membuat kesadarannya kembali memasuki kepala.
Ada lagi seorang perempuan membawa sebuah kardus, menyangganya dengan kedua tangannya. Melewati koridor dengan lampu mirip rumah sakit, berbentuk kotak dan memanjang. Belok kiri satu kali dan itulah pintu keluar bagian belakang gedung yang dikelilingi tembok tinggi. Ada sebuah kandang kelinci cukup besar jika dibandingkan dengan jumlah kelinci yang hanya ada empat ekor luasnya sekitar 5x7 meter. Kelinci itu dibiarkan berkeliaran dan semua terlihat bersih. Tak seperti kandang pada umumnya, di dalamnya tumbuh tanaman liar tak terlalu tinggi, lebih seperti rerumputan yang selalu jadi tempat kelinci itu bersenang-senang. Ada juga sebuah pondasi yang lebih tinggi dari rerumputan itu, berukuran lebih besar dari pintu, sementara di tengahnya ada kayu berengsel selebar 1x1,5 meter yang tertutupi jerami. Perempuan itu membuka kandang itu lalu masuk dan menaiki pondasi itu, menyibak jerami itu lalu membuka kayu itu, dan itu adalah pintu sangat rahasia yang menghubungkan pada ruang bawah tanah paling steril dari orang tertentu. Ruang bawah tanah itu tiga kali lebih luas dari kandang kelinci. Arsitek cukup pandai membuat bidang tanah di belakang gedung Panti Wreda yang terlihat hanya ada kandang kelinci, namun di bawah tanah ada ruang tersembunyi tempat orang-orang bekerja secara rahasia berikut pencahayaan juga lubang udara untuk bernapas.
Setelah masuk dengan menuruni tangga, perempuan itu masih perlu berjalan menuju pintu besi hitam dengan kotak kaca di ketinggian orang dewasa yang ditutup dengan selembar kain hitam dari dalam. Berdiam diri di sana sebentar, menghela napas dan mengembuskannya. Hanya untuk menghilangkan ketegangan. Kardus dia jaga hanya dengan tangan kiri. Lalu tangan satunya yang ragu mengetuk pintu besi itu. Tak lama, seseorang mengintip di balik kaca. Lalu membuka pintu itu sedikit, hanya sedikit. Seseorang berkaos hitam menampakkan dirinya. Memandangi perempuan itu yang tertunduk sejak tadi.
“Kau baik saja?” tanya laki-laki yang bernama Jefri.
“Ya. Jika ini kurang, akan kuantar lagi.” Perempuan itu memberikan kardusnya sambil melihat wajahnya sekilas kemudian menunduk lagi.
“Ehm, kau sudah memikirkannya?” tanya Jefri lagi.
“Masih.”
Laki-laki itu mengangguk paham lalu mendengus. “Aku masih menunggumu, Nita.”
Perasaan tak jelas mengerubungi. Perempuan yang bernama Nita itu undur diri, dalam kepalanya memikirkan sesuatu. Pandangan Jefri mengikuti kepergiannya.