Philogynik

Suyat Aslah
Chapter #10

BAB 9


Sepasang mata masih mengantuk keluar dari pintu kamar, melewati lukisan Paul yang pecah sambil menguap dan menggaruki kepala, seperti anak bocah yang malas saat bangun kesiangan. Pecahan kaca yang terserak sudah bersih, entah kapan Ardi membersihkannya, Resti tak tahu.

“Di mana kamar mandi?” tanyanya.

Ardi yang duduk di ruang depan hanya menunjuk dengan menggerakan tangan. Sekonyong-konyong Resti bertanya menyelidik, “Kau tak menaruh perekam di sana bukan?”

“Aku bukanlah maniak seks, sudah kusediakan handuk dan baju ganti di sana,” jawabnya.

Meski sedikit membayang di pikirannya apa yang akan terjadi di dalam sana. Tapi Ardi segera menepis paksa pikiran itu. Sebelum semua mengambil seluruh imajinasinya. Ardi melangkah ke luar rumah, memandang semua arah. Memahami hal-hal yang terjadi akhir-akhir ini. Semua terlihat kacau, selongsong dan proyektil ada di mana-mana. Di tempat semenanjung jauh dari permukiman seperti ini, peristiwa ini akan sulit terendus orang lain, bahkan oleh polisi sekalipun. Benaknya dihampiri kecurigaan mendadak. Mungkin semua ini ada hubungannya dengan orang baru yang dibawanya kemari yang makin lama makin bertambah. Sarah, Resti, petugas ledeng, petugas derek juga supir taksi. Atau ada mata-mata lainnya yang dilepas untuk benar-benar melenyapkannya. Bagaimana pun juga Ibunya masih menyimpan rahasia besar belum terungkapkan. Ardi terus memandangi sekitar dan berpikir cukup lama memahami apa yang terjadi.

“Kau baik?” Sepasang mata mengantuk kini sudah terlihat segar, wajahnya terlihat cemerlang. Tangannya mengusapi rambut yang basah dengan handuk. Baju lengan panjang dan rok semata kaki bekas Ibunya yang dia kenakan membuatnya terlihat menawan. Perban di tangannya sudah dia lepas, sekarang dia punya luka yang hampir sama dengan Ibunya. Namun Ardi tak mau memandanginya lebih lama. Takut kalau-kalau pikirannya makin kacau. Bahkan berusaha menumbuhkan sikap menyelidik dalam dirinya.

“Ya,” jawabnya sedikit mendesah. “Hanya kekacauan yang belum kumengerti.” Sambil belutut, menekuk salah satu lututnya menyentuh tanah, mengambil sebuah selongsong peluru dan memandanginya.

“Aku yakin mereka tahu tentangmu,” ujar Resti.

“Kupikir akan berakhir mengerikan kemarin.” Kali ini Ardi bersedia untuk diajak ngobrol, tak seperti tadi malam.

“Semua akan baik saja.” Jawaban itu naik ke udara bersama harum mawar khas sabun mandi.

“Bagaimana tanganmu?”

“Sudah membaik.”

“Ada yang aneh kau tahu?”

“Apanya?”

“Kita tak bisa melihat dengan jelas, berapa orang yang menyerang. Tapi jelas tujuannya melenyapkan. Tapi, kau dengar beberapa tembakan terakhir? Terdengar dari arah lumayan jauh namun tak mengarah ke rumah ini. Setelah itu selesai begitu saja.”

“Aku tak tahu tentang itu.”

Ardi berdiri, memandangi wajah di hadapannya yang kesilauan ditimpa sinar matahari. Sebaliknya, Ardi melihat secara gamblang dalam jarak dekat. Wajah yang dipahat indah oleh Sang Pencipta. Resti mengangkat tangan saking silaunya, seperti memberi salam hormat. “Apa?” Tatapan Ardi membuatnya ingin tahu apa maksudnya.

“Aku berubah pikiran,” ucap Ardi sambil terus memandang tenang mata Resti.

“Apa maksudmu, hah?”

“Aku masih ingin menahanmu.”

“Mengapa?”

“Hanya beberapa pertanyaan kecil. Masuklah.” Ardi sedikit memaksanya.

“Tidak,” jawabnya dibuat-buat dan tak ada ketakutan secuil pun.

“Mungkin kau memang tahu seberapa gila diriku,” ujar Ardi sambil meraih paksa tangan kiri Resti untuk masuk ke dalam. Sedikit meronta dan merasakan sakit, Resti mengerang.

“Kau tahu konsekuensinya? Aku tak selemah yang kaukira.” Resti berkata mantap.

“Kau tahu? Mungkin karena ketidaktahuanmu tentangku, kau bicara seperti itu.” Ardi menudingkan jari telunjuknya di hadapan Resti, namun dia berani menepisnya tak ragu.

“Tak ada tangan terikat?” Resti memberi syarat.

“Tentu.”

“Dan satu hal lagi. Izinkanku membaca diarymu.” Nada suaranya sedikit ragu.

“Kau sandraku sekarang!” Ardi berseru dengan detonasi keras.

“Tapi aku yang memegang kendali, dari matamu kau begitu menginginkanku.” Resti sedikit menggodanya. Ardi memandang ke arah lain untuk menghindari tatapannya. “Dan satu lagi,” sambung Resti.

“Apa?!”

“Gendong aku.” Resti mengulurkan tangan.

“Tidak!”

“Tapi aku memaksa!” Kali ini Resti benar-benar mendominasi.

Ardi merasa dipermainkan. Permainan yang menawarkan hadiah besar. “Kau bayi besar.” Tubuh perempuan itu terasa lebih berat dari yang dia kira. Rambutnya yang belum disisir berayun seenaknya. Handuk yang diselempangkan sebelumnya hampir jatuh namun dengan sebat tangan Resti menangkapnya. Lalu melingkarkan tangan kirinya ke leher Ardi berpegangan pada pundak kiri. Sementara tangan kanannya memegangi handuk yang hampir-hampir jatuh lagi. Posisi menyamping membuat Resti bisa memandang separuh wajah Ardi yang terlihat sedang berusaha menguasai diri. Sementara dia tersenyum dengan penuh arti.

“Aku penasaran, bagaimana rasanya jadi dirimu,” kata Resti sangat dekat ke telinganya, bahkan bisa bersentuhan dengan embusan napasnya. Ardi tak peduli, tapi Resti tetap melanjutkan, “Hidup tanpa teman, kesepian bisa saja membuatmu gila.”

“Kupikir kau tahu tentang semua kekacauan ini.” Ardi mengubah topik tanpa menjawabi terlebih dulu.

“Harusnya kau memahami, pelakunya bisa saja berkaitan dengan orang yang berhubungan denganmu.”

“Kau benar. Kau tahu? Aku mencurigaimu.” Ardi setengah menuduh.

“Kau tak sepintar yang kukira. Kau pikir awal pertemuan kita karena atas perintah Ayahmu. Bagaimana dengan perempuan itu?” Pertanyaan itu membuatnya berhenti melangkah sebentar.

“Dari mana kau tahu? Kau membaca diary tanpa seizinku, hah?”

Lihat selengkapnya