Philogynik

Suyat Aslah
Chapter #11

BAB 10


Paul tengah duduk santai di depan rumah, menyandarkan tubuhnya pada kursi rotan. Kaos oblong dan celana kolor pendek yang dipakainya menciptakan hawa bebas di sekelilingnya. Sebatang rokok dinyalakan, diisap dan diembuskan, seolah asap yang keluar adalah gambaran kenikmatan. Dari dalam, keluar sang istri menyajikan kopi yang dibawa bersama cawan, diletakan di dekat telepon genggam.

“Kau libur hari ini?” tanyanya.

“Yup!” Wajah Paul tampak baik-baik saja.

“Itu berarti akan ada banyak waktu bersama anak.” Senyumnya tak habis-habis.

“Tentu, mau kemana kita?”

“Kudengar di kota ada taman bermain baru, cukup luas dan tak begitu jauh dari sini. kupikir anak-anak akan senang. Dan es krim tentunya.”

“Setelah kopi ini habis.” Paul seperti sudah tak sabar lagi

“Akan kupersiapkan anak-anak,” ujar istrinya.

Setelah masuk ke dalam, Paul masih dengan perasaan bungahnya. Dihirupnya dalam-dalam kembali rokok itu. Suara kemeretak rokok yang terbakar dia dengar dengan jelas, matanya pejam sebentar menikmati aroma khas yang membuatnya kecanduan. Panggilan telepon masuk, getar saja. Sambil mengembuskan asap rokok, tangannya yang berbulu karena terlalu sering dikerik meraih benda kotak itu.

“Apa?!” Cuma si gondrong yang menelpon, ‘si bodoh’ batinnya, sambil mencoba menjauh ke tempat yang lebih lapang, memastikan hanya dia yang tahu apa yang akan dibahas.

“Bom itu telah membunuhnya, tapi pembunuh bayaranmu belum bisa menghabisi bocah itu,” katanya lirih dengan ekspresi kesal.

“Tak apa, mereka hanya umpan. Bagaimana dengan Sniper kita?”

“Kupikir mereka sudah lama tak berlatih, jadi…”

“Kita gagal?”

“Bocah itu menyeberang jalan besar dekat pasar, memasuki gang sempit,” jelasnya.

“Sekarang kau ada di mana, hah?!”

“Kedai kopi, Bos.”

“Ikuti dia, bodoh!” Sambungan diputus begitu saja. “Hari libur yang menyebalkan,” gumamnya.

Suara derum mobil berhenti di jalan depan rumah, Ardi mendengarnya kemudian mengintip lewat tirai. Permukiman yang sepi, bahkan dia tak melihat satu orang pun yang lewat. Sementara dalam mobil VAN itu, dia yakin adalah kawanan itu. Dalam kepalanya masih teringat Ibunya. Namun bayangannya berganti setelah seorang bersepatu laras dan berpakaian atribut taktikal turun, membenarkan celananya, mungkin melorot sedikit. Matanya menebarkan pandangan sementara sinar matahari sudah meninggi. Telapak tangan kanannya dia gunakan untuk mengurangi silau matahari. Di samping kanannya ada semacam saku kecil, Ardi menduga itu berisi belati atau pistol beukuran kecil.

“Di mana informan bodoh itu?” gumamnya sendiri tanpa melihat ke arah mobil tempat kawannya masih bersarang.

“Sudah dekat.” Terdengar tipis suara dari dalam mobil.

“Hey aku di sini!” Akhirnya muncul juga.

“Jangan teriak, bodoh!” katanya sedikit geram melihat kebodohannya.

Tak salah yang dilihat Ardi sebelumnya, yang dilihatnya saat menyeberang jalan adalah dia. Seseorang yang dipanggil 'si bodoh' itu seperti tak dianggap oleh temannya. Tapi tetaplah ada di pihak mereka. Lalu terlibat percakapan lirih nyaris tak terdengar oleh Ardi, mungkin karena jaraknya lumayan jauh dan tersekat jendela. Lalu mereka seperti menoleh ke Ardi, kemudian kembali dengan percakapannya lagi.

“Ada apa?” Suara dari belakang membuatnya kaget lagi setengah mati. Dia membekap mulut Resti.

Lihat selengkapnya