Philogynik

Suyat Aslah
Chapter #12

BAB 11


Tak ada yang tahu pasti siapa Ardi sekarang. Dia ada namun seakan tiada. Telah mengubah dirinya menjadi manusia yang tak pernah orang duga. Tersembunyi dalam celah dunia yang penuh dengan tatapan mata. Namun semua tak mengenalinya. Bahkan Resti juga tak tahu jadi apa dan di mana Ardi sekarang.

Dua orang polisi sedang menghadap Paul. Polisi korup yang telah lama diam-diam masuk kelompoknya. Mengabaikan sumpah kepolisian yang diucapkan dulu. Selalu menutupi jejak kejahatannya dan mengabarkan pergerakan Kepolisian kota pada Paul, hingga membuatnya sulit tersentuh hukum.

Kemarin dia kehilangan dua anak-buahnya yang ditugaskan saat malam. Jasadnya belum ditemukan sampai sekarang. Dan Paul tak yakin itu ulah polisi. Kemudian rencana B: bom diledakkan dan pembunuh bayaran dia pekerjakan untuk rencana C, namun semua belumlah tuntas.

“Kita kehilangan dia,” ujar Dani.

“Kau seorang polisi, kan? Kau tak bisa melacaknya?” Paul sedikit keberatan dengan kabar dari Dani.

“Belum. Mungkin dia bakal mati kelaparan,” ujar Baron.

“Itu kesimpulan yang bodoh. Kita tak pernah tahu sedang berhadapan dengan orang macam apa?” Paul meragukannya.

“Bagaimana dengan Haidar, dia di tempat Herman?” tanya Baron

“Dia tak ada di sana.” Paul menjawab sambil menyalakan rokok.

“Maaf sebelumnya, jika ingin balaskan dendam, bukankah langsung pada orang yang kau dendami?” Dani mempertanyakan sekaligus memberikannya pilihan.

“Aku mendendami semua yang berkaitan dengan dia. Akan kumulai dengan orang-orang di sekelilingnya,” jawab Paul.

“Para polisi sudah memeriksa TKP. Lebih cepat dari yang kukira. Bahkan itu tempat terpencil, kan?” Dani menjelaskan.

“Apa itu masalah?” Paul bertanya cepat.

“Jika yang berurusan dengan kita adalah Abdar. Tentu kita dalam masalah,” jelas Baron.

“Siapa dia?” Paul penasaran.

“Polisi yang pernah menerima penghargaan kehormatan dari kepala polisi pusat. Wajahnya terpampang dalam koran nasional edisi empat tahun lalu, aku masih ingat itu. Dia telah memimpin banyak penyelidikan kasus besar kejahatan kriminal, teror, perampokan, penculikan. Hampir tahu kejahatan separuh kota ini, dan dia baru saja memimpin Divisi Khusus Penanganan Kejahatan Kriminal yang dibentuk belum lama ini. Sebelumnya Divisi itu sudah pernah ada, namun karena banyak masalah internal dan kita sudah tahu kenapa, pada akhirnya dibubarkan. Dan kau tahu apa yang harus ditakuti lagi?” Pertanyaan Baron sekaligus menjelaskan bahwa ada banyak yang perlu diwaspadai.

“Apa?” tanya Paul.

“Jurnalis. Mereka akan mengumandangkan kasus ini. Publik akan menaruh perhatian pada rentetan pembunuhan yang terjadi, membuat masyarakat dengan argumennya masing-masing. Lalu polisi akan serius menyelidiki kasus ini.” Penjelasan Baron cukup bisa diterima Paul dan sedikit membuatnya berpikir.

Sementara di tempat lain, Herman sedang duduk di sofa, menekan-nekan remot TV. Lalu berhenti pada siaran berita yang mengabarkan tentang kebakaran di semenanjung. Garis polisi terpasang mengelilingi lokasi itu. Terlihat Detektif Abdar sedang diwawancarai oleh beberapa Jurnalis.

“Kasus ini masih diselidiki. Ini tempat terpencil, beruntungnya seorang sopir truk pembawa unggas yang lewat melihat kebakaran dari jauh dan langsung menghubungi nomor darurat. Korban sementara hanya ditemukan satu jasad dan, aku tak ingin terlalu cepat ke kesimpulan,” ujar Abdar.

“Ada barang bukti?” tanya salah satu Jurnalis.

“Banyak selongsong peluru ditemukan di area ini. Kita juga telah menemukan sebuah laptop yang telah hangus dan hancur, kita belum tahu dan sedikit kesulitan untuk tahu siapa yang tinggal di tempat seperti ini dan, hal yang mengejutkan adalah ada sebuah bungker dalam rumah ini berisi banyak senjata berbagai jenis dan ribuan peluru. Ada juga lokasi tembak di belakang rumah.”

“Apa ini melibatkan sebuah jaringan teroris, mungkin?”

“Terlalu dini untuk menyimpulkan, dan sebenarnya ada dua kasus kematian tak wajar meski cukup jauh dari sini, seorang perempuan pedagang pasar yang tertembak dan ada juga potongan tubuh yang ditemukan nelayan di laut. Kita lihat nanti,” jelas Abdar.


Suara ketokan di pintu memecahkan perhatiannya pada berita itu, lalu Jefri masuk.

“Saya turut berduka atas kejadian ini. Ike telah melakukan yang terbaik. Jika anda memerintahkanku memburu pelakunya, akan aku lakukan,” kata Jefri.

“Jangan dulu.” Herman Setiadi tenang saja tak banyak bicara, seolah ini masalah kecil.

“Sebuah temuan terbaru, Tuan, kita tahu siapa pimpinan kelompok bertato belati. Kurasa ada pengkhianat dalam kelompok kita,” kata Jefri lagi.

Herman mendesah. “Siapa pimpinannya?” Tanya Herman.

Jefri menghela napas lebih dulu. ”Kau akan terkejut mendengar jawabannya dan kau akan tahu nama pengkhianat kita. Pimpinannya adalah John Paul Flanner. Mereka menjadikan mantan istrimu dan anak laki-lakimu jadi target, hanya anakmu yang tersisa.”

“Di mana anak itu?” tanya Herman lagi.

“Dia menghilang sejak kejadian itu. Saat kita bersama Haidar, dia bersembunyi dalam rumah milik Resti. Itu adalah yang terakhir kalinya kita melacak keberadaannya. Satu-satunya agen kita di daerah itu, Ike, telah terbunuh.”

“Di mana Haidar?”

“Dia belum terlihat lagi sejak itu, dia tak seperti yang lain. Mungkin Resti mengetahui sesuatu,” ujar Jefri.

“Hubungan kita tidak baik.”

Lihat selengkapnya