Philogynik

Suyat Aslah
Chapter #13

BAB 12

Keesokan harinya ada pertemuan yang akan diadakan di sebuah kafe. Seorang dengan wajah masa bodoh seakan sudah berjodoh dengan tubuhnya. Jaket hitam berkerah menutupi leher. Sesekali menghindari lubang jalanan yang berisi air hujan. Kedua telapak tangannya dimasukkan ke saku jaket. Lalu menepi memasuki sebuah kafe. Konsep ruangan yang sedikit redup dan kebetulan tak terlalu ramai. Belasan lampu gantung yang menghasilkan cahaya biru membuat ruangan tampak lebih elegan namun tak menyilaukan. Meja-meja dikelilingi beberapa kursi yang mengelompok sendiri-sendiri. Di sebelah pojok lumayan berjarak dari meja Waitress, di sanalah kawanannya duduk.

“Kau tukang telat, kemari dan terimalah tinjuku!” Baron bergurau.

“Lucu, aku tahu betul tinjumu seperti perempuan kurang darah,” ujar Haidar sambil memundurkan kursi untuk duduk.

“Oh benarkah, kepalamu bisa hancur dalam satu pukulan, bayi besar,” ujar Baron lagi.

“Kau merendahkanku, Bung. Apa aku sudah dipesankan minuman?” Haidar sedikit tak terima.

“Duduk manis di situ. Akan kupesankan susu hangat. Apa kau butuh sedotan, hah?” Baron masih bercanda keterlaluan, semua tertawa keras. Dani ikut-ikutan, bahkan dia yang beranjak untuk memesankan. Lelucon dari kedua polisi itu sedikit membuat jengkel Haidar. “Hanya kopi kental sedikit gula,” ujar Haidar namun tak dipedulikan Dani.

“Hapus senyum di wajahmu, bajingan!” Haidar makin kesal.

Lalu datang lagi Beni membawa selipat koran.

“Apa kau akan meninjunya? Dia juga telat,” bisik Haidar.

“Diam kau! Bayi besar.” Baron masih mempermainkannya.

“Kau mau pesan?” tanya salah satu pada Beni.

“Tidak.” Beni menjawab dengan pandangan memikirkan sesuatu. Tak lama seorang pelayan kafe membawakan segelas susu hangat untuk Haidar.

Haidar tak percaya dia benar-benar dipesankan susu hangat. “Kau bercanda, hah?”

“Tidak. Aku serius.” Mereka tertawa namun sedikit ditahan.

“Kau ingat laki-laki yang bersama Pak tua itu, Andi? Sedikit membuatku kepikiran.” Beni mengeluarkan isi kepalanya.

“Apa dia bisa jadi masalah? Kau yang menyuruhku untuk tak menembaknya,” ujar Andi.

“Aku tak tahu, jenis tatapan yang sulit ditebak. Dia seperti tak takut saat ditodongkan pistol.” Beni tampak serius.

“Apa perlu lapor ke Paul?” tanya Dani.

“Tidak. Di mana Sarah?”

“Oouwh. Kebetulan yang sedikit ajaib. Dia datang,” kata Baron dengan tatapan seperti terpesona melihatnya sambil bersiul. Dia memakai sebuah kacamata berwarna coklat setengah transparan sambil mengunyah permen karet. Lalu kepala belakang Baron digeplak oleh Haidar.

“Ada sesuatu hari ini?” tanya Sarah sambil berjalan.

“Ya, tentang bagaimana kita hidup berikutnya?” Salah satu menjawab.

“Apa tempat ini cukup aman membahas pekerjaan?” Haidar memelankan suaranya.

Seorang laki-laki berkumis lumayan tebal dengan jaket kain dengan bekas tembelan di lengan kiri masuk ke dalam kafe sambil membawa buku dan langsung menuju Waitress. Dani sempat meliriknya namun tak begitu peduli. Dalam pikirnya adalah hanya orang biasa saja.

“Hanya kopi hitam, Sheryl,” katanya pada salah satu Waitress. Perempuan dengan pakaian pelayan itu memandangnya terkejut namun tetap diam, dia mengenali suaranya. Hanya mengangguk dan menjawabnya sedikit terlambat.

“Ok. Kau baik saja?” tanyanya.

“Ya, sedikit pekerjaan membaca hari ini.”

Sekali lagi perempuan itu merespon dengan anggukan, namun kali ini disertai senyuman berarti. “Kau tampak punya gaya sekarang ya.” Betapa hanya mereka berdua saja yang tahu maksudnya. Bahwa mereka berdua saling kenal. Setelah pesan lalu duduk tak jauh dari mereka.

“Kau kenal dia?” Akhirnya Dani bertanya juga. Hanya Baron dan Haidar yang melirik laki-laki itu.

“Hanya warga sipil biasa,” ujar Baron. Semua kembali dengan perbincangan mereka lagi.

“Kau yakin ini tak mengundang media pemberitaan?” Andi membuka percakapan lagi dengan berbisik.

“Ayolah, kurangi melihat acara kartun. Berita ini sudah muncul di mana-mana, bodoh!” ujar yang lain.

“Foto wajahnya terpampang dalam koran lokal hari ini. Laki laki yang berada di dekat Pak tua itu, ada yang tahu siapa dia?” Beni menyodorkan koran yang dia bawa.

Lihat selengkapnya