Philogynik

Suyat Aslah
Chapter #14

BAB 13

Paul memperoleh perasaan yang membakar hatinya saat menyadari, korban dipihaknya mulai jatuh satu per satu. Bahkan berita tentang pembunuhan seorang polisi sudah masuk dalam berita TV. Dia yakin untuk yang kali ini pelakunya adalah Ardi.

“Sungguh ini penghinaan yang keterlaluan, kita hanya berperang melawan satu orang, kan. Bawa dia kemari dalam keadaan terluka. Aku sendiri yang akan menyiksanya perlahan sampai mati.” Wajahnya geram.

“Dia seperti singa yang menyimpan cakarnya, dia bisa menyerang kita di waktu dan posisi yang tak terduga,” ujar Sarah.

“Berhenti memujinya, kau yang pernah begitu dekat dengannya. Apa saranmu akan hal ini?” Paul bertanya.

“Atau jangan-jangan kisahmu kemarin masih menyisakan rasa itu? Saatnya kau membuktikan di mana kau berpijak sekarang. Kuharap jangan di posisi samar.” Beni menimpali.

“Ya, aku mengerti,” jawab Sarah sambil menunduk.

“Perempuan itu bisa jadi kelemahan. Dia melarikan diri bersamanya dulu. Kita ambil dia, Ardi akan keluar dengan sendirinya,” ujar Andi.

“Siapa pun dia, perempuan itu berharga baginya,” kata Beni.

“Jika perempuan itu yang kau maksud, kau tahu siapa dia? Seseorang yang piawai dengan senjata. Terlahir bukan darah daging Herman. Anak dari janda yang akan dinikahi Herman Setiadi. Tapi sebelum pernikahan itu terjadi, Ibunya meninggal dan kita semua tahu siapa yang membunuhnya. Sekarang dia dilindungi oleh kelompok Herman. Jika melihat keahliannya dan resiko, kurasa dia umpan sekunder.” Haidar bercerita.

“Kau tak menceritakan tentangnya dari dulu?” ujar Paul.

“Ehm, kupikir dia dulu tak terlalu terlibat semua ini.” Haidar berusaha mencari alasan. Pada kenyataannya dia hanya ingin seorang Resti yang dia sukai aman tanpa mengalami hal tak diinginkan.

“Lalu siapa umpan utama? Beri aku nama,” tanya Paul.

“Kita tahu namanya dan tahu keberadaannya,” ujar Sarah.


**


Abdar dan satu teman timnya bernama Johan dalam Divisi itu mengunjungi sebuah gedung tak terlalu besar. Di depan gedung itu ada sebuah papan penanda sekaligus identitas gedung itu. Tertulis di sana “BENGKEL SAM” lalu di bawahnya bertuliskan dengan huruf lebih kecil: sedot WC, perpipaan, service kulkas, kipas angin, AC dan lainnya.

“Sesuai waktu, kan?” Abdar berseru. Para karyawan menoleh. Seorang laki-laki yang berpakaian rapi keluar dari sebuah ruangan, menyambutnya dengan jabat tangan dan senyuman.

“Ya tentu, maaf tempat yang kurang rapi,” ujarnya.

“Tak apa. Masih jam kerja?”

“Ehm, ya, tapi bisa kuluangkan waktu untuk anda, tak masalah.” Dia menyambut Abdar dengan sangat ramah.

“Ada tiga orang, bukan?” tanya Abdar.

“Ya, akan kupanggil dia.”

“Tak perlu, aku saja yang ke sana.”

“Oh baiklah di sebelah sana.” Laki-laki itu menunjuk dengan gerakan tangan, pembawaannya hormat pada Abdar.

Beberapa sedang mengulik sebuah mesin cuci yang dibongkar sana-sini. Seperti ruangan yang biasa layaknya bengkel lain, terlihat berantakan. Ada lima karyawan yang bekerja dengan seragam yang sama. Mereka menoleh ke arah kedatangannya.

“Hey, Edi. Detektif Abdar ingin bicara,” kata laki-laki berbaju rapi itu pada salah satu karyawan.

“Kau, Edi?” tanya Abdar.

“Ya,” jawabnya sambil mengelap tangannya lalu bersalaman.

“Baiklah, silakan ambil waktumu, Detektif.” Pemilik bengkel undur diri. Kini perhatian sepenuhnya diarahkan pada Edi.

“Kau bersama dua rekan lain, kan?” tanya Johan.

“Ya, itu sudah beberapa minggu yang lalu.” Edi tampak tak tertekan akan kehadiran dua polisi. Dia seperti siap akan pertanyaan yang akan ditujukan padanya.

“Di mana yang lain?” tanya Abdar.

“Sedang mengantar barang yang sudah diperbaiki, mereka segera kembali,” ujar Edi.

“Oke, sambil menunggu. Kutanyai kau dulu. Ehm, kau tak menghubungi polisi?” tanya Abdar memulai.

“Tidak. Itu yang mereka katakan. Jangan laporkan ke polisi. Dan aku pikir mereka tidak bertindak berlebihan pada kami,” jawab Edi.

“Bagaimana maksudmu, tak bertindak berlebihan?”

“Ehm, kita bertiga waktu itu. Saat melewati jalan sepi itu, kita dihadang oleh dua orang bersenjata. Mereka menanyakan keperluan kami. Kita menjawabnya. Lalu salah satu dari mereka menanyakan, siapa yang paling kompeten melakukan pekerjaan kami. Kujawab ‘Surya’ dia adalah senior kami. Mereka menyuruh melepas baju seragam kita, tapi Surya tidak. Mereka juga menutup mata kita berdua dengan kain hitam saat orang itu memakai seragam kita. Lalu memborgol tangan kita berdua ke sebuah pohon. Posisinya melingkarkan tangan kita ke belakang. Amat sulit untuk melepas borgol itu,” jelasnya.

“Apa yang dilakukannya pada Surya?”

“Mereka membawanya.”

Lihat selengkapnya