Suasana hati Sheryl benar-benar kacau. Gelisah dan tak tahu harus berbuat apa. Sangat mengganggu pekerjaannya dan itu menyebalkan.
“Ada yang ingin menemuimu kurasa.” Sheryl beralih ke sumber suara, dia teman kerjanya.
“Apa dia menyuruhku ke sana?” tanya Sheryl.
“Ya, dia di luar,” ujarnya.
Dengan kecemasan yang menggelayuti kepala, langkahnya begitu gugup, jemarinya sibuk bergerak dengan sendirinya, seolah sedang ikut memikirkannya. Setelah mengedarkan pandangan dan melihat Ardi, sudah siap dia menceritakan semua meski masih terlalu jauh untuk memulai percakapan. “Ardi! Ardi! Mereka menculik Septi, mereka juga mencarimu.”
“Aku tahu, kemana mereka membawanya?”
“Jalan Mawar di gedung terbengkalai. Aku ikut.” Kekhawatiran sangat tampak di kedalaman matanya.
“Tidak, mereka menginginkanku. Akan kubawa Septi kembali,” kata Ardi.
Lalu Sheryl memeluknya erat sambil menangis. Ardi mencoba menguasai diri.
“Aku takut, Ardi,” rintihnya.
“Ya, aku tahu. Jika semua sudah aman, pergilah sejenak ke tempat yang tak diketahui siapa pun termasuk aku. Hanya sementara.”
“Bagaimana denganmu?”
“Aku tak tahu, jangan pikirkan itu.” Saat itulah Ardi merasakan sesuatu yang membuatnya sulit melepas pelukannya. Sesuatu yang membuat hatinya berdesir. Perasaan yang langka dan dia nikmati.
Sementara Sheryl tak pernah mengenal Resti sebelumnya. Sekarang dia sedang di dalam kafe, datang beberapa menit sebelum menyaksikan pemandangan berpelukan yang membakar hatinya. Tak pernah ada dalam pikirannya, bahwa Ardi meninggalkannya diam-diam, menghianati perasaan yang telah terbangun megah di hatinya. Setidaknya itu yang dia rasa.
Ardi menaiki bus untuk ke lokasi. Bekerja sama dengan anak angkat Pak Tua, dia adalah Pandu, laki-laki yang menangis setelah penembakan itu. Dia telah beraksi di tempat lain, tanpa senjata. Hanya dengan sebuah ponsel yang dulu diberi oleh Sarah dan bakat terpendam. Hasilnya Ardi yang membawanya sekarang.
Setelah turun dari bus, Ardi harus berjalan sekitar dua ratus meter, juga menyeberangi sungai melalui jembatan. Gedung yang terbengkalai ini berada di dekat jembatan dan lumayan berjarak dari jalan raya dan gedung yang lain. Mereka telah melihat kedatangannya dari jauh. Menenteng kantong plastik putih dengan santainya, menatap sekitar seperti menatap sekumpulan lalat yang hendak mengerubunginya. Ardi tak menyangka ada lebih banyak anak buah Paul dari yang dia kira, semuanya betato. Dan Sarah sudah ada di sana. Namun itu tak mengganggu sama sekali bagi Ardi.
“Ouwh, lihat bajingan itu,” ujar salah satu.
“Kau akan lihat matanya.” Beni berbisik.
“Kuakui dia benar-benar tampan. Kau masih mencintanya, Sarah?” tanya Andi.
“Hanya sedikit mengenalnya, hanya itu.” Sarah menanggapi.
“Izinkanlah aku membaca tatapanmu, Sarah. Aku berani taruhan kau masih menyukainya.” Yang lain ikut-ikutan meledek.
“Diamlah!” Paul berseru.
Ardi berhenti dan memandang datar semuanya setelah berhadapan langsung dengan mereka yang memegang senjata masing-masing. Salah satunya ada yang meludah, seperti muak dengannya.
“Kau baik-baik saja.” Paul memulai percakapan.
“Ya, tentu. Terima kasih atas penyambutannya.” Ardi mencoba berbicara santai.
Paul terus memandangnya sambil tersenyum dengan maksud, dari tatapannya seperti berkata ‘ya, si bajingan ini bernyali besar dan kurang ajar.’ Dengan sebuah gerakan untuk anak buahnya. Paul menyuruh salah satu memeriksa. Seorang berambut gondrong yang pernah Ardi lihat, memeriksa seluruh tubuhnya, serta kantong plastik yang dibawa.
“Apa ini?” tanyanya.
“Kau bisa lihat sendiri.”
Setelah memeriksa. “Ini apel, untuk siapa?” tanya si gondrong.
“Sebenarnya itu untuk Septi, tapi jika kau mau, silakan,” jawab Ardi.