Philogynik

Suyat Aslah
Chapter #17

BAB 16


Rambutnya berantakan dan kering seperti tumpukan jerami yang siap untuk dibakar. Sebuah karung goni dia gendong di punggungnya. Beberapa daun kering menempel di bajunya. Wajahnya tak mudah dikenali. Berjalan menyusuri jalanan besar. Banyak orang menatapnya aneh, namun dia tak peduli. Tak jauh darinya di jalan yang lebih kecil, Pandu berpenampilan kaos kumal terlampau besar di tubuhnya, sedang beristirahat di bawah sebuah pohon Ketapang di tepian lapangan sepakbola yang dipagari jaring-jaring kawat, di samping sisi luar kawat terdapat parit berukuran sekitar tiga jengkal dan sedang tak ada seorang pun yang berada di lapangan. Jalan itu menghubungkan perumahan sekitar 200 meter dan banyak yang ditinggal bekerja di perkantoran, membuat suasana makin terasa sepi. Cukup teduh namun beberapa buah ketapang dan daunnya sedikit mengotori jalan. Tapi itu tak jadi masalah untuk seorang gelandangan.

Saat berjalan mendekati Pandu, seorang perempuan menggunakan jaket hitam dan berpenutup kepala menghampiri Ardi. “Kau baik saja?” tanya perempuan itu.

“Ya,” jawab Ardi singkat saja tanpa memandang wajahnya, hanya sedikit menunduk. Tak ingin behubungan dengan orang asing.

“Kubawakan kau ini.” Suara perempuan itu seperti belum sembuh dari flu, tangannya mengangsurkan sebuah jaket yang sudah bekas, itu terlihat sama sekali tak baru. Ardi tak menjawabnya sampai perempuan itu berkata lagi, “Kubawakan juga makanan, kau bisa membaginya dengan yang lain.”

“Maaf, aku tak bisa menerima itu.”

“Hanya pakai saja bodoh!” teriak perempuan itu. Ardi terkejut dan sedikit mengangkat pandangannya, melihat pada perempuan itu.

“Aku cuma khawatir padamu,” kata perempuan itu lagi sedikit kesal dengan detonasi suara hampir menangis. Ardi menatapnya lekat, lembut seperti menemukan sesuatu yang lama hilang darinya. Namun kini muncul dengan air mata. Suaranya sedikit asing, mungkin memang karena sedang flu.

“Resti.” Desah Ardi. “Kau bisa menemukanku? Ehm, terima kasih telah mengurusi pemakaman Ibuku,” ujar Ardi.

“Siapa perempuan yang kau peluk di depan kafe?” Itu adalah hal yang cukup mengganggu pikirannya selama ini.

“Dia, Sheryl. Bukan aku yang memeluknya, tapi dia.”

“Tapi kau tak menolaknya?”

“Aku tak tahu harus berbuat apa, Resti.”

“Kau seperti menjauhiku perlahan.”

“Tidak, tidak. Aku hanya ingin kau tak ikut dalam permasalahan ini.” Lalu entah apa yang sedang merasukinya, dia mencoba mendekati Resti yang menampilkan wajah kecewa padanya. Perlahan memeluk perempuan itu dan saat itulah dia menangis di dekapannya.

“Jaga dirimu,” bisik Ardi.

“Ya, kau juga,” jawabnya berbisik, dia mulai menerimanya lagi. Bahkan bertanya cukup menggelikan hingga mengubah suasana hati, “Kapan terakhir kau mandi bayi besar?” tanyanya sambil mendongakkan wajahnya memandangi pria dengan rupa orang gila. Keduanya tertawa sambil melepas pelukan. Memandangi satu sama lain tanpa bicara beberapa saat, tanpa peduli siapa saja yang melihat. “Jadi, kapan kita berdua minum kopi? Di kafe atau tempat penuh lampu-lampu. Kita berbicara banyak hal,” sambungnya. Ada desahan yang seakan merindukan masa yang belum terjadi.

“Aku tak tahu.”

“Aku membayangkan tiap hari, ancaman maut yang datang padamu setiap saat.”

“Tak usah kau pikirkan. Bahkan kau juga ikut terancam. Hanya jauhi aku sebentar saja, lalu kita akan bertemu lagi dengan dunia yang sudah berbeda.”


Pertemuan yang singkat, namun cukup menggetarkan. Bunga telah tumbuh di hari yang hampir membuatnya mati. Saat dia memandanginya, Ardi seperti memikirkan sesuatu yang sederhana namun begitu menyentuh di hati. Meski Resti lumayan cemburu dengan Sheryl, bahkan setelah benar-benar pergi dia masih merasakannya. Ardi masih memandangi kepergiannya sampai suara Pandu mengalihkannya.

“Siapa dia?” tanyanya.

“Seseorang yang memberikan ini, makanlah,” jawabnya sambil mengangsurkan sebuah kotak makanan.

Tangannya menerima, namun mata Pandu masih terarah pada sosok perempuan yang sudah jauh sambil diliputi kebingungan. Biar bagaimanapun Pandu masih belum tahu tentang Ardi sepenuhnya. “Tapi kau memeluknya tadi, seperti ada ikatan yang tak kumengerti,” ujarnya.

Ardi tak menjawabnya, malah memandangi jaket itu sebentar dan merasakannya bahwa, jaket itu terasa lebih berat saat dia pegang, tak seperti jaket pada umumnya. Ardi sudah tahu apa sebenarnya maksud jaket itu harus dia pakai. Jaket yang benar-benar terlihat usang. Namun jika pemberinya dari orang yang spesial, akan punya makna yang berbeda. Dan dia langsung memakainya.

“Apa dia sudah menyiapkan sesuai ukuranmu?”

“Mungkin.”

Pandu masih memegangi kotak itu. Meski sedikit lapar, dia tak langsung membukanya. Hanya kepalanya masih membayang penasaran. “Aku masih belum tahu banyak tentangmu, siapa kau sebenarnya?” tanyanya.

“Itu tergantung padamu. Kau menganggapku teman, maka aku temanmu.”

“Aku tahu kau menyembunyikan sesuatu,” ujar Pandu makin curiga.

Sebelum pertanyaan itu dijawab, sebuah mobil berhenti tak jauh dari mereka berada. Lalu sepucuk pistol muncul dari jendela mobil yang terbuka. Pandu menyadari itu dan terkejut bukan buatan. Sangat jelas itu dibidikkan ke arah mereka. Ardi juga terkejut sekaligus menerima dua tembakan di dadanya. Sementara Pandu menyelamatkan diri dengan menjatuhkan diri ke parit sambil masih memegangi kotak makanan. Napasnya memburu sambil memeriksa tubuhnya barangkali terkena tembak. Saat mobil itu sudah pergi dari sana, Pandu mengintip sedikit dan melihat Ardi tergeletak diam di pinggir jalan. Seperti ada yang runtuh di hati Pandu. Tak bisa mengatur napasnya sendiri dan seketika diserang panik.

Angin menyembur dari arah yang berpindah-pindah. Jalanan kosong tanpa lalu-lintas manusia. Pandu keluar melihat kondisi Ardi, tanpa dia sadari ada sebuah mobil lagi yang mendengus berhenti di tempat yang hampir sama, menembak Pandu hingga menggelepar diam. Kotak makanan lepas dari tangannya. Mobil menggerung bergegas pergi. Setelah suaranya habis, Pandu perlahan bangun dan kembali memeriksa tubuhnya. Saat itulah dia menemukan lubang bekas tembak pada pakaiannya yang kebesaran namun tak mengenai tubuhnya.

“Aku masih hebat dalam berpura-pura,” gumamnya lalu menghampiri Ardi. Mengamati bekas tembak di dada sebelah kiri dan yang satunya lagi sedikit ke bawah. “Sial!”umpatnya. Terduduk payah memandangi tubuh yang tergeletak lalu menangis. “Bahkan belum lama aku mempunyai teman, sekarang dia mati. Tuhan, saat ini aku sangat lapar, tapi aku tak tega menghabiskan makanan di kotak sementara temanku mati,” rengeknya.

Tiba-tiba mendengar suara Ardi terbatuk-batuk. Dia belum mati. Hanya tubuhnya seakan rapuh untuk sekedar duduk. “Oh! Teman, kau selamat. Tenang, dia sudah pergi.” Pandu terheran melihat bekas tembak itu. “Apa yang terjadi?” tanyanya.

Ardi tak langsung menjawab. Berusaha menguatkan tubuhnya dan sedikit mengerang. Pandu bersiap menyangganya. Namun berdiri sendiri juga akhirnya. Meraba pada dada sebelah kirinya, lalu membuka jaket. “Anti peluru,” katanya.

Lihat selengkapnya